PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Tidak setiap
anak mengalami perkembangan normal.Banyak di antara mereka yang dalam
perkembangannya mengalami hambatan, gangguan, kelambatan, atau memiliki faktor-faktor resiko sehingga untuk mencapai perkembangan optimal diperlukan
penanganan atau intervensi khusus.Kelompok inilah yang kemudian dikenal sebagai
anak berkebutuhan khusus.
Anak-anak
berkebutuhan khusus, adalah
anak-anak yang memiliki keunikan
tersendiri dalam jenis dan
karakteristiknya, yang membedakan
mereka dari anak-anak normal
pada umumnya. Keadaan
inilah yang menuntut pemahaman terhadap hakikat
anak berkebutuhan khusus. Keragaman anak berkebutuhan khusus
terkadang menyulitkan guru
dalam upaya menemu kenali
jenis dan pemberian layanan pendidikan
yang sesuai. Namun apabila
guru telah memiliki pengetahuan
dan pemahaman mengenai hakikat
anak berkebutuhan khusus, maka
mereka akan dapat memenuhi kebutuhan anak yang sesuai.
Anak berkebutuhan khusus sejatinya
terjadi dari berbagai macam dan karakter. Anak berkebutuhan khusus bisa
digolongkan menjadi anak yang memiliki kelainan secara fisik, mental,
berkelainan emosional maupun akademik. Dan sebagai tenaga pendidik, memahami
berbagai karakter anak terutama anak yang memiliki karakter yang istimewa
seperti anak berkebutuhan khusus tentu saja harus menjadi sebuah keahlian
karena bukan tidak mungkin , siswa yang pada nantinya menjadi anak didik bisa
saja memiliki keistimewaan seperti anak berkebutuhan khusus.
Untuk itu melalui makalah ini kami
mencoba mengkaji lebih dalam mengenai klasifikasi dan karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) berkelainan
Fisik dan ABK berkelainan emosi
Oleh karna itu , penulis membuat
makalah ini yang fungsinya bertujuan untuk memaparkan karakteristik –
karakteristik yang terdapat pada anak yang mengalami gangguan fisik, dan emosi
agar nantinya bagi para calon pendidik Anak Berkebutuhan Khusus dapat mengenali
dan memahami mereka serta mampu memberikan layanan pendidikan yang sesuai
dengan kebutuhan Anak Berkebutuhan Khusus.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan anak berkebutuhan khusus berkelainan fisik?
2.
Apa saja yang
menjadi klasifikasi dan karakteristik anak berkebutuhan khusus berkelainan
fisik?
3.
Apa yang dimaksud dengan anak
berkebutuhan khusus berkelainan emosi (tunalaras)?
4.
Apa saja yang menjadi klasifikasi dan karakteristik anak berkebutuhan khusus berkelainan emosi (tunalaras)?
C. Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui
apa yang dimaksud dengan Anak Berkebutuhan Khusus Berkelainan Fisik.
2.
Untuk mengetahui
dan memahami apa saja klasifikasi serta karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus
Berkelainan Fisik.
3.
Untuk mengetahui
apa yang dimaksud dengan Anak Berkebutuhan Khusus Berkelainan Emosi
(Tunalaras).
4.
Untuk mengetahui
dan memahami apa saja klasifikasi serta karakteruistik Anak Berkebutuhan Khusus
Berkelainan Emosi (Tunalaras).
PEMBAHASAN
A. Anak-Anak
Berkebutuhan Khusus Berkelainan Fisik
1. Anak Tunanetra
A. Klasifikasi
Anak Tunanetra
Anak tunanetra adalah anak-anak yang mengalami
kelainan atau gangguan fungsi penglihatan, yang dinyatakan dengan tingkat
ketajaman penglihatan atau visus sentralis diatas 20/200 dan secara pedagogis
membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajarnya di sekolah.
Tunanetra
memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Secara pedagogis membutuhkan pelayanan
pendidikan khusus dan belajarnya di sekolah. Dalam http://nofriyanirezki.blogspot.com/2013/03/klasifikasi-anak-berkebutuhankhusus. Berdasarkan
tingkatannya, anak Tunanetra dibedakan atas :
1.
Berdasarkan Tingkat Ketajaman Penglihatan
Seseorang
dikatakan penglihatannya normal, apabila hasil tes Snellen menunjukkan
ketajaman penglihatannya 20/20 atau 6/6 meter. Sedangkan untuk seseorang yang
mengalami kelainan penglihatan kategori low
vision (kurang lihat), yaitu penyandang tunanetra yang memiliki ketajaman
penglihatan 6/20m-6/60m. kondisi yang demikian sesungguhnya penderita masih
dapat melihat dengan bantuan alat khusus. Selanjutnya untuk seseorang yang
mengalami kelainan penglihatan kategori berat, atau The blind, yaitu penyandang tunanetra yang memiliki tingkat
ketajaman penglihatan 6/60m atau kurang. Untuk yang kategori berat ini masih
ada dua kemungkinan,
a.
Penderita adakalanya masih dapat melihat
gerakan-gerakan tangan, ataupun
b.
Hanya dapat membedakan gelap dan terang.
Sedangkan tunanetra yang memiliki
ketajaman penglihatan dengan visus 0, sudah sama sekali tidak dapat melihat.
2.
Berdasarkan Adaptasi Pedagogis
Kirk, SA (1989) dalam http://nofriyanirezki.blogspot.com/2013/03/klasifikasi anak berkebutuhankhusus. mengklasifikasikan penyandang tunanetra berdasarkan kemampuan
penyesuaiannya dalam pemberian layanan pendidikan khusus yang diperlukan. Klasifikasi
yang dimaksud adalah :
a. Kemampuan
melihat sedang (moderate visual
disability), dimana pada taraf ini mereka masih dapat melaksanakan
tugas-tugas visual yang dilakukan oleh orang awas dengan menggunakan alat bantu
kgusus serta dengan bantuan cahaya yang cukup.
b. Ketidakmampuan
melihat taraf berat (severe visual
disability). Pada taraf ini,
mereka memiliki penglihatan yang kurang baik, atau kurang akurat meskipun
dengan menggunakan alat bantu visual dan modifikasi, sehingga mereka
membutuhkan banyak dan tenaga dalam mengerjakan tugas-tugas visual.
c. Ketidakmampuan
melihat taraf sangat berat (profound
visual disability). Pada taraf ini mereka mengalami kesulitan dalam
melakukan tugas-tugas visual, dan tidak dapat melakukan tugas-tugas visual yang
lebih detail seperti membaca dan menulis. Untuk itu mereka sudah tidak dapat
memanfaatkan penglihatannya dalam pendidikan, dan mengandalkan indra perabaan
dan pendengaran dalam menempuh pendidikan.
Secara fisik mungkin anak mampu mencapai kematangan sama dengan anak awas
pada umumnya, tetapi dikarenakan fungsi psikisnya, seperti pemahaman terhadap
realita lingkungan, kemungkinan adanya bahaya dan cara – cara menghadapinya,
keterampilan gerak serba terbatas, serta kurangnya keberanian dalam melakukan
sesuatu mengakibatkan kematangan fisiknya kurang dapat dimanfaatkan secara
maksimal dalam melakukan aktivitas gerakan motorik. Anak tunanetra mengalami
hambatan dalam sistem umpan balik persepsi penginderaan yang sangat penting
dalam konsep belajar, seperti : pengenalan bentuk, ukuran dan ruang (spatial).
Fallen dan
Umansky (1985) dalam http://nofriyanirezki.blogspot.com menjelaskan bahwa anak
tunanetra cenderung gagal dalam memahami gambaran tubuh (body image) secara
akurat, sebagai dampak dari eksplorasi yang terbatas, gerakan yang terbatas dan
overprotection, yang semua ini kan berpengaruh terhadap kelambatan dalam
perkembangan motoriknya.
B. Karakteristik
Anak-Anak Tunanetra
Menurut Suparno dan Heri Purwanto dalam file:///C:/Users/PIC/Downloads/Documents/Pendidikan+Anak+Kebutuhan+Khusus+UNIT+4.pdf Beberapa kara-kteristik anakanak tunanetra
adalah:
1.
Segi Fisik
Secara fisik anak-anak tunanetra, nampak sekali adanya
kelainan pada organ penglihatan/mata, yang secara nyata dapat dibedakan dengan
anak-anak normal pada umumnya hal ini terlihat dalam aktivitas mobilitas dan
respon motorik yang merupakan umpan balik dari stimuli visual.
2.
Segi Motorik
Hilangnya indera penglihatan sebenarnya tidak
berpengaruh secara langsung terhadap keadaan motorik anak tunanetra, tetapi
dengan hilangnya pengalaman visual menyebabkan tunanetra kurang mampu melakukan
orientasi lingkungan. Sehingga tidak seperti anak-anak normal, anak tunanetra
harus belajar bagaimana berjalan dengan aman dan efisien dalam suatu lingkungan
dengan berbagai keterampilan orientasi dan mobilitas.
3.
Perilaku
Kondisi tunanetra tidak secara langsung menimbulkan
masalah atau penyimpangan perilaku pada diri anak, meskipun demikian hal
tersebut berpengaruh pada perilakunya. Anak tunanetra sering menunjukkan
perilaku stereotip, sehingga menunjukkan perilaku yang tidak semestinya.
Manifestasi perilaku tersebut dapat berupa sering menekan matanya, membuat
suara dengan jarinya, menggoyang-goyangkan kepala dan badan, atau
berputar-putar. Ada beberapa teori yang mengungkap mengapa tunanetra kadang-kadang
mengembangkan perilaku stereotipnya. Hal itu terjadi mungkin sebagai akibat
daritidak adanya rangsangan sensoris, terbatasnya aktifitas dan gerak didalam
lingkungan, serta keterbatasan sosial. Untuk mengurangi atau menghilangkan
perilaku tersebut dengan membantu mereka memperbanyak aktifitas, atau dengan
mempergunakan strategi perilaku tertentu, seperti memberikan pujian atau
alternatif pengajaran, perilaku yang lebih positif, dan sebagainya.
4.
Akademik
Secara umum kemampuan akademik, anak-anak tunanetra
sama seperti anak-anak normal pada umumnya. Keadaan ketunanetraan berpengaruh
pada perkembangan keterampilan akademis, khususnya dalam bidang membaca dan
menulis. Dengan kondisi yang demikian maka tunanetra mempergunakan berbagai
alternatif media atau alat untuk membaca dan menulis, sesuai dengan
kebutuhannya masing-masing. Mereka mungkin mempergunakan huruf braille atau
huruf cetak dengan berbagai alternatif ukuran. Dengan asesmen dan pembelajaran
yang sesuai, tunanetra dapat mengembangkan kemampuan membaca dan menulisnya
seperti teman-teman lainnya yang dapat melihat.
5.
Pribadi dan
Sosial
Mengingat tunanetra mempunyai keterbatasan dalam
belajar melalui pengamatan dan menirukan, maka anaktunananetra sering mempunyai
kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang benar. Sebagai akibat dari
ketunanetraannya yang berpengaruh terhadap keterampilan sosial, anak tunanetra
perlu mendapatkan latihan langsung dalam bidang pengembangan persahabatan,
menjaga kontak mata atau orientasi wajah, penampilan postur tubuh yang baik,
mempergunakan gerakan tubuh dan ekspresi wajah, mempergunakan intonasi suara
atau wicara dalam mengekspresikan perasaan, menyampaikan pesan yang tepat pada
waktu melakukan komunikasi.
Penglihatan memungkinkan kita untuk bergerak dengan leluasa
dalam suatu lingkungan, tetapi tunanetra mempunyai keterbatasan dalam melakukan
gerakan tersebut. Keterbatasan tersebut mengakibatkan keterbatasan dalam
memperoleh pengalaman dan juga berpengaruh pada hubungan sosial. Dari keadaan
tersebut mengakibatkan tunanetra lebih terlihat memiliki sikap:
a.
Curiga yang
berlebihan pada orang lain, ini disebabkan oleh kekurangmampuannya dalam
berorientasi terhadap lingkungannya.
b.
Mudah
tersinggung. Akibat pengalaman-pengalaman yang kurang menyenangkan atau
mengecewakan yang sering dialami, menjadikan anak-anak tunanetra mudah
tersinggung.
c.
Ketergantungan
pada orang lain. Anak-anak tunanetra umumnya memilki sikap ketergantungan yang
kuat pada oranglain dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Kondisi yang
demikian umumnya wajar terjadi pada anak-anak tunanetra berkenaan dengan
keterbatasan yang ada pada dirinya.
Suparno dan Heri Purwanto.Pendidikan Anak Kebutuhan Khusus. file:///C:/Users/PIC/Downloads/Documents/Pendidikan+Anak+Kebutuhan+Khusus+UNIT+4.pdf
2. Anak
Tunarungu
A. Klasifikasi
Anak Tunarungu
Tunarungu adalah istilah yang menunjuk pada kondisi
ketidakfungsian organ pendengaran atau telinga seseorang anak. Kondisi ini
menyebabkan mereka memiliki karakteristik yang khas, berbeda dari anak-anak
normal pada umumnya.
Dalam http://mely novikasari loelhabox.blogspot.com/2014/04/abk-berkelainan-fisik.html
Tunarungu terdiri atas 2 tingkatan yaitu umum dan khusus,
1.
Tunarungu secara umum
a.
the deaf atau tuli, yaitu peyandang tunarngu berat dan
sangat berat dengan tingkat ketulian di atas 90 dB.
b.
heard of hearing, atau kurang dengan yaitu penyandang
tunarungu ringan atau sedang dengan derajat ketulian 20- 90 dB.
2. Tunarungu
secara khusus.
a.
tunarungu ringan adalah penyandang tunarungu yang
mengalami tingkt ketulian 25-45 dB. Seseorang yang mengalami ketunarunguan
taraf ringan dimana ia mengalami kesulitan untuk merespon suara-suara
yang datangnya agak jauh.
b.
Tunarungu sedang, adaah penyandan tunarungu yang
mengalami tingkat ketulian 46-70 dB. Seseorang yang mengalami ketnarunguan
taraf sedang dimana ia hanya dapat mengerti percakapan pada jarak 3-5 feet
secara berhadapan, tetapi idak dapat mengikuti diskusi-diskusi dikelas. Pada
kondisi anak tunarungu yang demikian sudah memerlukan alat bantu dengar
(heardingan aid) memerukan pembinaan komunikasi, persepsi, bunyi
dan irama.
c.
Tunarungu berat, adalah penyandang tunarungu yang
mengalami tingkat kesulitan 71-90 dB. Seseorang yang mengalami ketunarunguan
taraf berat, hanya dapat merespon bunyi-bunyi dalam jarak yang sangat dekat dan
diperkeras. Pada anak tunarungu demikian memerlukan alat bantu dengar dalam
mengikuti pendidikan disekolah, selain itu juga diperlukan pembinaan dan
latihan berkomunikasi dan pengembangan bicaranya.
d.
Tunarungu sangat berat (profound) adalah penyandang
tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 90 dB ke atas. Pada tahap ini
seseorang sudah tidak dapat lagi merespon suara sama sekali, kemungkinan hanya
bisa merespon melaui getaran-getaran suara yang ada. Untuk menyandang tunarungu
ini lebih mengandalkan kemampuan visual atau penglihatannya.
Perkembangan
fisik atau motorik anak tunarungu tidak begitu jauh berbeda dengan perkembangan
anak pada umunya. Bahkan tidak jarang anak tunarungu baru dapat dikendali
ketika diajak berbicara atau berkomunikasi, tetapi terkadang ditemui pada
beberapa anak tunarungu yang letak gangguan pendengarannya pada teliga bagian
dalam ( auri internal) yang mengenai bagian organ keseimbangan (semiciculas
canals) yang pada giliranya juga dapat mempengaruhi nerves cochlearis (saraf
keseimbangan ) yang menyebabkan anak ketika berjalan seperti terhuyung – huyung
(akan jatuh). Anak kurang memiliki keseimbangan yang baik. Tetapi selain dari
pada itu, jika anak murni mengalami ketunarunguan maka perkembangan fisik tidak
banyak mengalami ketunarunguan maka perkembangan fisiknya mengalami ketunaan
penyerta (double handicapped).
B. karakteristik
Anak Tunarungu
Menurut Suparno dan Heri Purwanto dalam file:///C:/Users/PIC/Downloads/Docume ts/Pendidikan+Anak+Kebutuhan+Khusus+UNIT+4.pdf
karakteristik anak tunarungu adalah:
1.
Segi Fisik
a. Cara berjalannya kaku dan agakmembungkuk. Akibat
terjadinya permasalahan pada organ keseimbangan pada telinga, menyebabkan
anak-anak tunarungu mengalami kekurangseimbangan dalam aktivitas fisiknya.
b. Pernapasannya pendek, dan tidak teratur. Anak-anak
tunarungu tidak pernah mendengarkan suara-suara dalam kehidupan sehari-hari,
bagaimana bersuara atau mengucapkan kata-kata dengan intonasi yang baik,
sehingga mereka juga tidak terbiasa mengatur pernapasannya dengan baik,
khususnya dalam berbicara.
c. Cara melihatnya agak beringas. Penglihatan merupakan
salah satu indra yang paling dominan bagi anak-anak penyandang tunarungu,
dimana besar pengalamanannya diperoleh melalui penglihatan. Oleh karena itu
anak-anak tunarungu juga dikenal sebagai anak visual, sehingga cara melihatpun
selalu menunjukkan keingintahuan yang besar dan terlihat beringas.
2.
Segi Bahasa
a. Miskin akan kosa kata
b. Sulit mengartikan kata-kata yang mengandung ungkapan,
atau idiomatic
c. Tatabahasanya kurang teratur
3.
Intelektual
a. Kemampuan intelektualnya normal
Pada dasarnya anak-anak tunarungu tidak mengalami permasalahan dalam
segiintelektual. Namun akibat keterbatasan dalam berkomunikasi dan berbahasa,
perkembangan intelektual menjadi lamban.
Perkembangan akademiknya lamban akibat keterbatasan bahasa. Seiring
terjadinya kelambanan dalam perkembangan intelektualnya akibat adanya hambatan
dalam berkomunikasi, maka dalam segi akademiknya juga mengalami keterlambatan.
4.
Sosial-emosional
a. Sering merasa curiga dan syak wasangka Sikap seperti
ini terjadi akibat adanya kelainan fungsi pendengarannya. Mereka tidak dapat
memahami apa yang dibicarakan oranglain, sehingga anak-anak tunarungu menjadi
mudah merasa curiga.
b. Sering bersikap agresif.
Suparno dan Heri Purwanto.Pendidikan Anak Kebutuhan Khusus. file:///C:/Users/PIC/Downloads/Documents/Pendidikan+Anak+Kebutuhan+Khusus+UNIT+4.pdf
3. Anak
Tunadaksa
Anak tunadaksa adalah kelainan yang meliputi cacat
tubuh atau kerusakan tubuh, kelainan atau kerusakan pada fisik dan kesehatan
dan kelainanan atau kerusakan yang disebabkan oleh kerusakan otak dan saraf
tulang belakang (Hargeo, 2012:47)
A. Klasifikasi
Anak Tunadaksa
Klasifikasi anak tunadaksa terdiri dari kelainan pada
sistem serebrai (cerebral sistem disorders). Penyebabnya kelahiran yang
terletak pada sistem saraf pusat. Cerebral palsy digolongkan menjadi tiga
yaitu: derajat kecacatan, topografi dan fisiologi kelaianan gerak.
1.
Penggolongan
cerebral palsy menurut derajat kecacatan:
a.
Golongan ringan
adalah, mereka yang dapat berjalan tanpa menggunakan alat, berbicara tegas dan
dapat menolong dirinya sendiri.
b.
Golongan sedang
ialah, mereka yang membutuhkan treatment atau latihan untuk berbicara, belajar
dan mengurus dirinya sendiri.
c.
Golongan berat,
golongan ini selalu memerlukan perawatan dalam ambulance, bicara dan menolong
diri sendiri.
2.
Golongan
cerebral palsy menurut topografi monoplegia, adalah kecacatan satu anggota
gerak, kaki kanan:
a.
Hemiplegia
adalah lumpuh anggota gerak atas dan bawah, tangan kanan dan kaki kanan.
b.
Paraplegi adalah
lumpuh pada kedua tungkai kakinya.
c.
Diplegi adalah
lumpuh kedua tangan kanan dan kiri atau kedua kaki kanan dan kiri.
d.
Kuadriplegi
adalah kelumpuhan keseluruhan anggota geraknya.
3.
Golongan menurut
fisiologi:
a.
Cerebral palsy
ringan, mereka menderita cerebral palsy ringan hanya memiliki sedikit
penurunan, gejala tidak begitu jelas dan biasanya tidak begitu terlihat.
b.
Cerebral palsy
spastik ini adalah kasus cerebral palsy yang umum. Ia mempengaruhi sekitar
80% dari semua kasus cerebral palsy. Ada
kerusakan pada konteks motor yang akan menyebabkan otot ata kelompok otot ketat
dan kaku, hal ini akan membatasi gerak misalnya anak-anak akan sulit untuk
memegang benda.
c.
Cerebral palsy
athetoid, spastik adalah yang paling umum, athetoid mencakup 10% dari kasus-kasus cerebral palsy,. Kerusakan
otak akan berada pada bagian-bagian yang mengkoordinasikan gerakan tubuh dan
pada saat yang sama mempertahankan postur tegak. Mereka yang menderita cerebral
palsy athethoid menemukan bahwa wajah mengalami wajah tak terkendali. Bicara
ahampir tak dipahami dan makanan sulit untuk ditelan. Selain itu, orang yang
terpengaruh dengan ini juga mengalami masalah dengan penglihatan.
d.
Cerebral palsy
ataxic, bentuk cerebral palsy yang agak jarang, hanya sekitar 5-10% dari jumlah
total pasien cerebral palsy yang menderita ini. Mereka yang menderita ini akan
mengalami pembentukan dan pembangunan otot yang buruk. Koordinasi juga sangat
sulit. Mereka juga cenderung memiliki pegangan yang sangat gemetar.
e.
Cerebral palsy
tremor, suatu gerakan gemetar yang berirama dan tidak terkendali, yang terjadi
karena otot berkontaksi dan berileksasi secara berulang-ulang,
f.
Cerebral palsy
rigid, suatu keadaan kontraksi otot yang persisten, yang sering dijumpai dalam
keadaan terhipnotis dan akibat gangguan patologis.
g.
Cerebral palsy
campuran adalah kombinasi dari berbagai jenis cerebral palsy.
Anak normal memiliki kemampuan
menyesuaikan gerakan dengan tujuan yang dimaksudkan, sedangkan anak cerebral
palsy gerakan terbatas. Gerakan menonton (stereotype) dan asal gerak, yang penting
dapat melakukan gerakan. Jika anak mulai dengan pola yang gerakan yang
salah, maka ia akan meneruskannya dan mengabaikan gerakan yang salah tersebut.
Hal ini menghambat perkembangan fisik yang normal dan kesalahan gerakan yang
berulang – ulang akan menimbulkan kekakuan sendi (contracture) dan salah bentuk
(derformities).
B. Karakteristik
Tuna Daksa
Menurut Suparno dan Heri Purwanto dalam file:///C:/Users/PIC/Downloads/Documents/Pendidikan+Anak+Kebutuhan+Khusus+UNIT+4.pdf karakteristik anak tunadaksa adalah:
1.
Gangguan Motorik
Gangguan motoriknya berupa kekakuan, kelumpuhan,
gerakan-gerakan yang tidak dapat dikendalikan, gerakan ritmis dan gangguan
keseimbangan. Gangguan motorik ini meliputi motorik kasar dan motorik halus.
2.
Gangguan
Sensorik
Pusat sensoris pada manusia terleakotak, mengingat
anak cerebral palsy adalah anak yang mengalami kelainan di otak, maka sering
anak cerebral palsy disertai gangguan sensorik, beberapa gangguan sensorik
antara lain penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman dan perasa. Gangguan
penglihatan pada cerebral palsy terjadi karena ketidakseimbangan otot-otot mata
sebagai akibat kerusakan otak. Gangguan pendengaran pada anak cerebral palsy
sering dijumpai pada jenis athetoid.
3.Gangguan Tingkat Kecerdasan
Walaupun anak cerebral palsy disebabkan karena
kelainan otaknya tetapi keadaan kecerdasan anak cerebral palsy bervariasi,
tingkat kecerdasan anak cerebralpalsy mulai dari tingkat yang paling rendah
sampai gifted. Sekitar 45% mengalami keterbelakangan mental, dan 35% lagi
mempunyai tingkat kecerdasan normal dan diatas rata-rata. Sedangkan sisanya
cenderung dibawah rata-rata (Hardman, 1990).
4.Kemampuan Berbicara
Anak cerebral palsy mengalami gangguan wicara yang
disebabkan oleh kelainan motorik otot-otot wicara terutama pada organ
artikulasi seperti lidah, bibir, dan rahang bawah, dan ada pula yang terjadi
karena kurang dan tidak terjadi proses interaksi dengan lingkungan. Dengan
keadaan yang demikian maka bicara anak-anak cerebral palsy menjadi tidak jelas
dan sulit diterima orang lain.
5.Emosi dan Penyesuaian Sosial
Respon dan sikap masyarakat terhadap kelainan pada
anak cerebral palsy, mempengaruhi pembentukan pribadi anak secara umum. Emosi
anak sangat bervariasi, tergantung rangsang yang diterimanya. Secara umum tidak
terlalu berbeda dengan anak–anak normal, kecuali beberapa kebutuhan yang tidak
terpenuhi yang dapat menimbulkan emosi yang tidak terkendali. Sikap atau
kurangnya penerimaan masyarakat terhadap anak cerebral palsy dapat memunculkan
keadaan anak yang merasa malu, rendah
diri atau kepercayaan dirinya kurang, mudah tersinggung/ sensitif, dan suka
menyendiri, serta kurang dapat menyesuaiakan diri dan bergaul dengan lingkungan.
Sedangkan anak anak yang mengalami
kelumpuhan yang dikarenakan kerusakan pada otot motorik yang sering diderita
oleh anak-anak pasca polio dan muscle dystrophy lain mengakibatkan gangguan
motorik terutama gerakan lokomosi, gerakan ditempat, dan mobilisasi. Ada
sebagian anak dengan gangguan gerak yang berat, ringan, dan sedang. Untuk
berpindah tempat perlu alat ambulasi, juga perlu alat bantu dalam memenuhi
kebutuhannya, yaitu memenuhi kebutuhan gerak. Dalam kehidupan sehari-hari anak
perlu bantuan dan alat yang sesuai. Keadaan kapasitas kemampuan intelektual
anak gangguan gerak otot ini tidak berbeda dengan anak normal.
Pelayanan
pendidikan bagi anak tunadaksa, guru mempunyai peranan sebagai pengajar,
pendidik dan pelatih. Pelayanan terapi yang diperlukan anak tunadaksa antara
lain: latihan berbicara, fisioterapi, occupational therapy dan hydro therapy.
Anak tunadaksa pada dasarnya sama dengan anak normal pada umumnya, hanya pada
aspek psikologi sosial mereka membutuhkan rasa aman dalam bermobilisasi dalam
kehidupan nya.
Model layanan pendidikan bagi anak tunadaksa dibagi
pada sekolah khusus atau inklusi. Sekolah yang diperuntukkan bagi anak yang mempunyai problema yang lebih
berat bagi intelektualnya maupun emosinya.
Suparno dan Heri Purwanto.Pendidikan Anak Kebutuhan Khusus. file:///C:/Users/PIC/Downloads/Documents/Pendidikan+Anak+Kebutuhan+Khusus+UNIT+4.pdf
C. Penyebab
anak Tunadaksa
Penyebab
tunadaksa dilihat saat terjadinya kerusakan otak yang terjadi pada:
1.
Masa sebelum
lahir, antara lain: terjadi infeksi penyakit, kelainan kandungan, kandungan
radiasi, saat mengandng mengalami trauma ( kecelakaan),
2.
Pada saat
kelahiran, antara lain: proses kelahiran terlalu lama, proses kelahiran yang
mengalami kesulitan, dan pemakaian anestesi, yang melebihi ketentuan.
3.
Setelah proses kelahiran,
antara lain: kecelakaan, infeksi penyakit, dan ataxia.
4. Tuna Wicara
A. Pengertian Tunawicara
Menurut Heri Purwanto (Ortopedagogik Umum, 1998) dalam http://fathinfauziah.blogspot.com/2012/11/makalah-anak-tunawicara.html
tuna wicara adalah apabila seseorang mengalami kelainan baik dalam
pengucapan (artikulasi) bahasa maupun suaranya dari bicara normal, sehingga
menimbulkan kesulitan dalam berkomunikasi lisan dalam lingkungan.
Dari
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa anak tunawicara adalah individu
yang mengalami gangguan atau hambatan dalam dalam komunikasi verbal sehingga
mengalami kesulitan dalam berkomunikasi.
B. Faktor Penyebab Tuna Wicara
Drs.Sardjono mengutip (Moh. Amni dkk,1979,hal 23) dalam http://fathinfauziah.blogspot.com/2012/11/makalah-anak-tunawicara.html Anak tunawicara dapat terjadi
karena gangguan ketika :
1.
Gangguan pre
natal
a. Hereditas (keturunan)
Yaitu apabila anak tunawicara sejak dalam kandungan karena diantara
keluarga terdapat tunawicara atau membawa gen tunawicara sehingga ketika lahir
anak tersebut memiliki gangguan tunawicara. Ini disebut dengan tuli genetis.
Perbedaan rhesus ayah dan ibu juga dapat menyebabkan abnormalitas pada
kelahiran anak.
b. Anoxia
Kekurangan oksigen dalam janin dapat menyebabkan kerusakan pada otak dan
syaraf yang menyebabkan ketidaksempurnaan organ salah satunya aorgan bicara seperti pita suara,tenggorokan,lidah,dan mulut.
2. Gangguan neo natal
a. Prematur
Bayi-bayi
prematur yang lahir dengan berat badan tidak normal dan lahir dengan organ
tubuh yang belum sempurna dapat mengakibatkan kebisuan yang kadang disertai
ketulian. Kurangnya berat pada ketika lahir juga dapat menyebabkan
jaringan-jaringan
3.
Gangguan pos
natal
a.
Infeksi
Sesudah
dilahirkan anak
menderita infeksi misalnya campak yang menyebabkan tuli preseftik,virus akan
mennyerang cairan koklea,menyebabkan
anak menderita otitis media (koken). Akibat yang sama akan terjadi bila anak
menderita scaerlet fever,dipteri, batuk hejang atau tertular sifilis.
b. meningitis(radang
selaput otak)
Penderita
akan mengalami kelainan pada pusat syraf pendengaran dan akan mengalami
ketulian perseptif.
c. infeksi alat
pernafasan
Seseorang
dapat menjadi tuna wicara apabila terjadi gangguan pada organ pernafasan
seperti paru-paru, laring, atau gangguan pada mulut dan lidah.
Drs.Sardjono mengutip (Moh. Amni dkk,1979,hal 23) dalam http://fathinfauziah.blogspot.com/2012/11/makalah-anak-tunawicara.html
C. Klasifikasi Tunawicara
Heri Purwanto (Ortopedagogik Umum, 1998), dalam http://fathinfauziah.blogspot.com/2012/11/makalah-anak-tunawicara.html
mengemukakan tunawicara secara umum diklasifikasikan menjadi 4 bagian,yaitu:
1.
Keterlambatan
bicara (Delayed speech ), Yaitu
seseorang yang mengalami keterlambatan dalam perkembangan bicaranya jika
dibandingkan dengan anak seusianya.
2.
Gagap
(stuttering), Yaitu:kelainan dalam memulai
pembicaraan dapat berupa:
a.
Pemanjangan
fonom atau suku kata depan (prolongation),
b.
Pengulangan
suku kata depan ( repetition ),
c.
Gerak mulut berbicara namun tidak keluar suara (
silent struggle )
d.
Anak dengan
kekacauan dalam berbicara (cluttering), biasanya berupa bicara terlalu cepat,
struktur kalimat tidak karuan, repitisi berlebihan.
3.
kehilangan kemapuan berbahasa(disphasia), Yaitu
kehilangan kemampuan berbahasa mulai dari kesalahan dalam inti pembicaraan
sampai tidak dapat bebicara sama sekali.
4.
Kelainan suara(voice disorder), Ditandai dengan
perbedaan suara dengan anak normal. Adapun kelainan suara berupa:
a.
Kelainan nada(pitch)
b.
Kelainan nada bicara dapat berupa nada terlalu tinggi,
terlalu rendah, atau monoton.
c.
Kelainan kualitas suara, Kelainan kualitas atau warna
suara berupa serak, lemah, atau desah.
d.
Kelainan keras lembutnya suara, Kelainan ini dapat
berupa suara keras ataupun suara lembut
D. Karakteristik
tuna wicara
Menurut Heri Purwanto (Ortopedagogik umum ,1998) dalam http://fathinfauziah.blogspot.com/2012/11/makalah-anak-tunawicara.html yang merupakan karakterisktik anak tunawicara
adalah :
1.
Karakteristik
bahasa dan wicara, Pada umumnya
anak tunawicara memiliki kelambatan
dalam perkembangan bahasa wicara bila dibandingkan dengan perkembangan bicara
anak-anak normal.
2.
Kemampuan
intelegensi, Kemamapuan intelegensi (IQ) tidak berbeda dengan anak-anak normal, hanya pada
skor IQ verbalnya akan lebih rendah dari IQ performanya
3.
Penyesuaian
emosi,sosial dan perilaku
4.
Dalam
melakukan interaksi sosial di masyarakat banyak mengandalkan komunikasi verbal,
hal ini yang menyebabkan tuna wicara mengalami kesulitan dalam penyesuaian
sosialnya.Sehingga anak tunawicara terkesan agak eksklusif atau terisolasi dari
kehidupan masyarakat normal.
5.
Sedangkan yang
merupakan ciri-ciri fisik dan psikis anak tunawicara adalah: Berbicara keras dan tidak jelas, Suka melihat gerak bibir atau gerak tubuh teman bicaranya, Telinga mengeluarkan cairan, Biasanya Menggunakan
alat bantu dengar, Bibir
sumbing, Suka melakukan gerakan tubuh, Cenderung
pendiam, Suara sengau, Cadel.
E. Hambatan yang dialami anak tunawicara
Anak
tunawicara memiliki keterbatasan dalam berbicara atau komunikasi verbal,
sehingga mereka memiliki hambatan dan kesulitan dalam berkomunikasi dan
menyampaikan apa yang ingin mereka rasakan. Kesulitan dalam berkomunikasi akan
semakin parah apabila anak tunawicara ini menderita tungarungu juga. Adapun hambatan - hambatan yang sering ditemui pada anak tuna wicara :
a.
Sulit
berkomunikasi dengan orang lain
b.
Sulit
bersosialisasi.
c.
Sulit
mengutarakan apa yang diinginkannya.
d.
Perkembangan
pskis terganggu karena merasa berbeda atau minder.
e.
mengalami
gangguan dalam perkembangan intelektual, kepribadian, dan kematangan sosial.
B.Anak
Berkebutuhan Khusus Berkelainan Emosi (Tunalaras)
A. Pengertian Anak Tunalaras
Istilah
tunalaras berasal dari kata “tuna” yang berarti kurang dan “laras” yang berarti
sesuai. Jadi, anak tunalaras berarti anak yang bertingkah laku kurang/ tidak
sesuai dengan lingkungan. Perilakunya sering bertentangan dengan norma-norma
yang berlaku di dalam masyarakat tempat ia berada. Anak tunalaras sering
disebut dengan anak tuna sosial karena tingkah laku mereka menunjukkan
pertentangan yang terus menerus terhadap norma-norma masyarakat yang berwujud
seperti mencuri, mengganggu dan menyakiti orang lain. (Soemantri, 2006) dalam http://ericha-wardhani.blogspot.com/2012/05/karakteristik-anak-tunalaras-menurut.html
Istilah yang digunakan untuk anak
yang berkelainan perilaku (anak tunalaras) dalam konteks kehidupan sehari-hari
di kalangan praktisi sangat bervariasi. Perbedaan pemberian julukan kepada anak
yang berperilaku menyimpang tidak lepas dari konteks pihak yang berkepentingan.
Misalnya, para orangtua cenderung menyebut anak tunalaras denga istilah anak
jelek (bad boy), para guru menyebutnya dengan anak yang tidak dapat diperbaiki
(incurrigible), para psikiater/psikolog lebih senang menyebut dengan anak yang
terganggu emosinya (emotional disturb child), para pekerja sosial menyebutnya
sebagai anak yang tidak dapat mengikuti aturan atau norma sosial yang berlaku
(social maladjusted child), atau jika mereka berurusan dengan hukum maka para
hakim biasa menyebutnya sebagai anak-anak pelanggar/penjahat (deliquent).
Terlepas dari julukan yang diberikan kepada para tunalaras, secara substansial
kesamaan makna yang terdapat pada pemberian “gelar” pada anak tunalaras,
disamping menunjuk pada cirinya yaitu terdapatnya penyimpangan yyang berlaku di
lingkungannya. (Sunardi, 1985),
Menurut ketentuan Undang-Undang
Pokok Pendidikan No. 12 Tahun 1952, anak tuna laras adalah individu yang
mempunyai tingkah laku menyimpang/ berkelainan, tidak memiliki sikap, melakukan
pelanggaran terhadap peraturan/ norma-norma sosial dengan frekuensi cukup
besar, tidak/ kurang mempunyai toleransi terhadap kelompok dan orang lain,
serta mudah terpengaruh suasana, sehingga membuat kesulitan bagi diri sendiri
maupun orang lain.
Dalam dokumen kurikulum SLB bagian E
tahun 1977 menyebutkan, yang disebut tuna laras adalah:
1.
anak yang mengalami gangguan/ hambatan emosi dan
tingkah laku sehingga tidak/ kurang menyesuaikan diri dengan baik, baik
terhadap lingkungan, sekolah, maupun masyarakat.
2.
anak yang mempunyai kebiasaan melanggar norma umum yang
berlaku dimasyarakat.
3.
anak yang melakukan kejahatan.
Jika seseorang mempunyai tingkat
penyesuaian normal secara kronologis, dapat dipastikan, menjadi anak yang
kurang dapat menyesuaikan diri dan berperilaku menyimpang.
Identifikasi terhadap kasus kelainan
perilaku menyimpang dapat juga dipakai sebagai patokan untuk menggunakan
program penyembuhan. Sebagai contoh:
1.
jika seorang anak mempunyai masalah psikologi maka
diperlukan model psikoanalitis yang lebih menekan kan pada psikodinamis.
2.
Jika anak menunjukkan penyimpangan prilaku dalam
masyarakat maka perlu penanganan dengan model prilaku, yaitu dengan cara
memodifikasi untuk belajar berprilaku yang benar daripada membetulkan
kasus-kasusnya.
3.
Type perilaku yang tampak, merupakan refleksi-refleksi
dari perasaan diri seperti marah, sering menemui kegagalan, takut, frustasi,
konsep diri yaang kurang, tidak merasa aman, merasa diacuhkan orang lain.
Perilaku semacam ini sering diikuti dengan masalah-masalah lain berkaitan
dengan kegagalan dalam belajar dan berbicaranya gagap.
Ada tiga perilaku utama yang tampak
pada seorang anak dengan kelainan perilaku menyimpang, yaitu: Agresif, suka
menghindar diri dari keramaian, dan sikap bertahan diri.
B. Klasifikasi Anak Tunalaras
Secara garis besar anak
tunalaras dapat diklasifikasikan sebagai anak yang mengalami kesukaran dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, dan yang mengalami gangguan emosi.
Tiap jenis kelainan anak tersebut dapat ditinjau dari segi gangguan atau
hambatan dan klasifikasi berat ringan nya kenakalan, dengan penjelasan sebagai
berikut:
1.
Menurut jenis ganguan atau hambatan
a.
Gangguan emosi, anak tunalaras yang
mengalami hambatan atau gangguan emosi terwujud dalam tiga jenis perbuatan
yaitu, senang-sedih, lambat-cepat marah, dan rileks-tekanan. Secara umum
emosinya menunjukkan sedih, cepat tersinggung atu marah, rasa tertekan dan
merasa cemas.
b.
Gangguan sosial, anak ini mengalami
gangguan atu merasa kurang senang menghadapi pergaulan. Mereka tidak dapat
menyesuaikan diri dengan tuntutan hidup bergaul. Gejala-gejala perbuatan ini
adalah seperti sikap bermusuhan, agresif, bercakap kasar, menyakiti hati orang
lain, keras kepala, menentang, menghina orang lain, berkelahi, merusak milik
orang lain, dan lain sebagainya. Perbuatan mereka sangat mengganggu ketentraman
orang lain.
2.
Klasifikasi berat-ringan nya kenakalan
a.
Besar-kecilnya gangguan emosi, artinya
semakin tinggi memiliki perasaan negatif terhadap orang lain makin dalam rasa
negatif semakin berat tingkat kenakalan anak tersebut.
b.
Frekuensi tindakan, artinya frekuensi
tindakan semakin sering dan tidak menunjukkan sikap penyesalan terhadap
perbuatan yang kurang baik semakin berat kenakalan nya.
c.
Berat-ringan nya pelanggaran atau
kejahatan yang dilakukan dapat diketahui dari sangsi hukum.
d.
Tempat atau situasi kenakalan yang
dilakukan atinya anak berani berbuat kenakalan dimasyarakat sudah menunjukkan
berat, dibandingkan dengan apabila dia dirumah.
e.
Mudah-sukarnya dipengaruhi untuk
bertingkah laku baik. Para pendidik atau orang tua dapat mengetahui sejauh mana
dengan segala cara memperbaiki anak. Anak bandel dan keras kepala sukar
mengikuti petunjuk termasuk kelompok berat.
f.
Tunggal atu ganda ketunaan yang dialami,
apabila seorang anak tunalaras juga mempunyai ketunaan lain maka dia termasuk golongan berat dalam
pembinaan nya.
Selain itu, William M. Cruickshank (1975 : 567) dalam https://phierda.wordpress.com/2012/11/04/anak-tuna-laras-dan-karakteristiknya mengemukakan bahwa mereka yang mengalami hambatan sosial dapat
diklasifikasikan kedalam kategori sebagai berikut :
1.
The semi-socialize child.
Anak yang termasuk
kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial, tetapi terbatas pada lingungan
tertentu, misalnya : keluarga dan kelompoknya. Keadaan ini terjadi pada
anak yang datang dari lingkungan yang menganut norma-norma tersendiri, yang
mana norma tersebut bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
2.
Children arrested at a primitive level or
socialization
Anak pada kelompok ini
dalam perkembangan sosialnya berhenti pada level atau lingkaran yang rendah.
Mereka adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan ke arah sikap sosial
dan terlantar dari pendidikan, sehingga ia melakukan apa saja yang dikehendakinya.
Hal ini disebabkan oleh tidak adanya perhatian dari orang tua yang berakibat
dari perilaku anak kelompok ini cenderung dikuasai oleh dorongan nafsu saja.
3.
Children with minimum socialization
capacity
Anak kelompok ini tidak
mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap sosial. Ini
disebabkan oleh pembawaan kelainan atau anak tidak pernah mengenal hubungan
kasih sayang sehingga anak pada golongan ini banyak bersifat apatis dan egois.
Demikian pula anak yang
mengalami gangguan emosi dapat diklasifikasikan menurut berat/ ringannya
masalah atau gangguan yang dialaminya. Anak ini mengalami kesulitan dalam
menyesuaikan tingkah laku dengan lingkungan sosialnya karena ada
tekanan-tekanan dari dalam dirinya, adapun anak yang mengalami gangguan emosi
diklasifikasikan sebagai berikut :
a.
Neorotic behaviour (perilaku neurotik).
Anak pada kelompok ini
masih bisa bergaul dengan orang lain akan tetapi mereka mempunyai permasalahan
pribadi yang tidak mampu diselesaikannya. Mereka sering dan mudah sekali
dihinggapi perasaan sakit hati, perasaan marah, cemas dan agresif, serta rasa
besalah. Disamping juga kadang-kadang mereka melakukan tindakan lain seperti
yang dilakukan oleh anak Unsocialized
(mencuri, bermusuhan), anak pada kelompok ini dapat dibantu dengan terapi
seorang konselor.
Keadaan neurotik ini
biasanya disebabkan oleh keadaan atau sikap keluarga yang menolak atau
sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta pengaruh pendidikan yaitu karena
kesalahan pengajaran atau juga adanya kesulitan belajar yang besar.
b.
Children with psychotic processes
Anak pada kelompok ini
mengalami gangguan yang paling berat sehingga memerlukan penanganan yang lebih
khusus. Mereka sudah menyimpang dari kehidupan yang nyata, sudah tidak memiliki
kesadaran diri serta tidak memiliki identitas diri. Adanya ketidaksadaran ini
disebabkan oleh gangguan pada sistem syaraf sebagai akibat dari keracunan,
misalnya minuman keras dan obat-obatan.
C. Karakteristik Anak Tunalaras
Karakteristik yang dikemukakan oleh
Hallahan & Kauffman (1986) dalam https://phierda.wordpress.com/2012/11/04/anak tuna laras dan karakteristiknya/ berdasarkan
dimensi tingkah laku anak tunalaras adalah sebagai berikut:
1.
Anak yang mengalami kekacauan tingkah laku,
memperlihatkan cirri-ciri: suka berkelahi, memukul, menyerang, mengamuk
membangkang, menantang, merusak milik sendiri atau milik orang lain, kirang
ajar, lancang, melawan, tidak mau bekerja sama, tidak mau memperhatikan,
memecah belah, rebut, tidak bias diam, menolak arahan, cepat marah, menganggab
entengg, sok aksi, ingin menguasai orang lain, mengancam, pembohong, tidak
dapat dipercaya, suka berbicara kotor, cemburu, suka bersoal jawab, tak sanggub
berdikari, mencuri, mengejek, menyangkal, berbuat salah, egois, dan mudah
terpengaruh untuk berbuat salah.
2.
Anak yang sering merasa cemas dan menarik diri, dengan
cirri-ciri khawatir, cemas, ketakutan, kaku, pemalu, segan, menarik diri,
terasing, tak berteman, rasa tertekan, sedih, terganggu, rendah diri, dingin,
malu, kurang percaya diri, mudah bimbang, sering menangis, pendiam, suka
berahasia.
3.
Anak yang kurang dewasa, dengan cirri-ciri, yaitu
pelamun, kaku, berangan-angan, pasif, mudah dipengaruhi, pengantuk,pembosan, dan
kotor.
4.
Anak yang agresif bersosialisasi, dengan cirri-ciri,
yaitu mempunyai komplotan jahat, mencuri bersama kelompoknya, loyal terhadap
teman nakal, berkelompok dengan geng, suka diluar rumah sampai larut malam,
bolos sekolah, dan minggat dari rumah.
Dalam https://phierda.wordpress.com/2012/11/04/anak-tuna-laras-dan
karakteristiknya/ dikemukakan
karakteristik yang berkaitan dengan segi akademik, social/emosional,
fisik/kesehatan anak tunalaras.
a.
Karakteristik Akademik,
Kelainan perilaku akan mengakibatkan
adanya penyesuaian social dan sekolah yang buruk. Akibat penyesuaian yang brurk
tersebut maka dalam belajarnya memperlihatkan cirri-ciri sebagai berikut.
1.
Pencapaian hasil belajar yang jauh dibawah rata-rata
- Seringkali dikirim ke kepala sekolah atau ruangan
bimbingan untuk tindakan discipliner.
- Seringkali tidak naik kelas atau bahkan ke luar
sekolahnya
- Sering kali membolos sekolah
- Lebih sering dikirim ke lembaga kesehatan dengan
alasan sakit, perlu istirahat
- Anggota keluarga terutama orang tua lebih sering
mendapat panggilan dari petugas kesehatan atau bagian absensi
- Orang yang bersangkutan lebih sering berurusan
dengan polisi
- Lebih sering menjalani masa percobaab dari yang
berwenang
- Lebih sering melakukan pelanggaran hokum dan
pelanggaran tanda-tanda lalu lintas
- Lebih sering dikirim ke klinik bimbingan.
b.
Karakteristik Sosial/Emosional, Karakteristik
social/emosional anak tunalaras dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Karakteristik
social
a.
Masalah yang menimbulkan gangguan bagi orang lain,
dengan cirri-ciri: perilaku tidak diterima oleh masyarakat dan biasanya
melnggar norma budaya, dan perilaku melanggar aturan keluarga, sekolah, dan
rumah tangga.
b.
Perilaku tersebut ditandai dengan tindakan agresif,
yaitu tidak mengikuti aturan, bersifat mengganggu, mempunyai sikap membangkang
atau menentang, dan tidak dapat bekerja sama.
2. Karakteristik
emosional
a.
Adanya hal-hal yang menimbulkan penderitaan bagi anak,
seperti tekanan batin dan rasa cemas.
b.
Adanya rasa gelisah, seperti rasa malu, rendah diri,
ketakutan, dan sangat sensitive atau perasa.
c.
Karakteristik Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak
tunalaras ditandai dengan adanya gangguan makan, gangguan tidur, dan gangguan
gerakan (tik). Seringkali anak merasakan ada sesuatu yang tidak beres pada
jasmaninya, ia mudah mendapat kecelakaan, merasa cemas terhadap kesehatannya,
merasa seolah-olah sakit. Kelainan lain yang berwujud kelainan fisik, seperti
gagap, buang air tidak terkendali, sering mengompol dan jorok.
D. Faktor-Faktor Penyebab Ketunalarasan
Penelitian
tentang penyebab terjadinya kelainan perilaku atau
ketunalarasan telah banyak dilakukan. Dalam https://phierda.wordpress.com/2012/11/04/anak-tuna-laras-dan-karakteristiknya/ penyebab
terjadinya ketunalarasan dapat diklasifikasikan, yaitu: (1) faktor penyebab
bersifat internal, dan (2) faktor penyebab yang bersifat eksternal. Faktor
penyebab internal adalah faktor-faktor yang langsung berkaitan dengan kondisi
individu itu sendiri, seperti keturunan, kondisi fisik dan psikisnya. Sedangkan
faktor penyebab eksternal adalah faktor-faktor yang bersifat di luar individu
terutama lingkungan, baik lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah (Patton,
1991).
1.
Faktor Internal
a.
Kondisi/Keadaan Fisik
Kondisi fisik ini dapat
berupa kelainan atau kecacatan baik tubuh maupun sensoris yang dapat
mempengaruhi perilaku seseorang. Kecacatan yang dialami seseorang mengakibatkan
timbulnya keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan baik berupa kebutuhan
fisik-biologis maupun kebutuhan psikisnya.
Masalah ini menjadi
kompleks dengan adanya sikap atau perlakuan negatif dari lingkungan. Sebagai
akibatnya, timbul perasan rendah diri, perasaan tidak berdaya/tidak mampu,
mudah putus asa, dan merasa tidak berguna sehingga menimbulkan kecenderungan
menarik diri dari lingkungan pergaulan atau sebaliknya, memperlihatkan tingkah
laku agresif, atau bahkan memanfaatkan kelainannya untuk menarik belas kasihan
lingkungan. Dengan demikian jelaslah bahwa kondisi/keadaan fisik yang
dinyatakan secara langsung dalam ciri-ciri kepribadian atau secara tidak
langsung dalam reaksi menghadapi kenyataan memiliki implikasi bagi penyesuaian
diri seseorang.
b.
Masalah Perkembangan
Erikson (dalam Singgih D. Gunarsa,
1985:107) menjelaskan bahwa setiap memasuki fase perkembangan baru, individu
dihadapkan pada berbagai tantangan atau krisis emosi. Anak biasanya dapat
mengatasi krisis emosi ini jika pada dirinya tumbuh kemampuan baru yang berasal
dari adanya proses kematangan yang menyertai perkembangan. Apabila ego dapat
mengatasi mengatasi krisis ini, maka perkembangan ego yang matang akan terjadi
sehingga individu dapat mnyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sebaliknya
apabila individu tidak berhasil menyelesaikan masalah tersebut maka akan
menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku. Konflik emosi ini terutama terjadi
pada masa kanak-kanak dan pubertas.
Adapun ciri yang menonjol pada masa
kritis ini adalah sikap menentang dan keras kepala. Kecenderungan ini
disebabkan oleh karena anak yang sedang menemukan ‘aku’-nya. Anak jadi marasa
tidak puas dengan otoritas lingkungan sehingga timbul gejolak emosi yang
meledak-ledak, misalnya: marah, menentang, memberontak, dan keras kepala.
c.
Keturunan
Salah satu hasil penelitian
spektakuler di bidang biologi tentang rekayasa genetika telah dibuat mendell.
Hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa keturunan mempunyai peranan kuat
dalam meahirkan generasi berikutnya.implementasi teori tersebut dalam identifikasi
ketunalarasan bahwa keturunan memberikan banyak bukti bayi yang dilahirkan
dalam keadaan abnormal berasal dari keturunan yang abnormal pula. Keabnormalan
perilaku menyimpang yang dilakukan oleh orang tuanya memberikan konstribusi
ketunalarasan kepada generasi berikutnya (Patton, 1991). Beberapa perilaku
menyimpang tersebut diantaranya kawin sedarah, seks maniak, alkoholisme,
kleptomania, gangguan kepribadian, dan lain-lain.
d.
Faktor Psikologis
Meier dalam penelitiannya,
menghubungkan antara variabel frustasi dengan perilaku abnormal memperoleh
kesimpulan bahwa seorang yang mengalami kesulitan memecahkan persoalan akan
menimbulkan perasaan frustasi. Akiat frustasi tersebut akan timbul konflik
kejiwaan. Bagi individu yang memiliki stabilitas kepribadian yang baik, konflik
psikologis tersebut dapat diselesaikan dengan baik. Namun, bagi mereka yang
memiliki kepribadian neurotik, konflik tersebut tidak dapat diselesaikan dengan
baik. Akibatnya, timbul perilaku menyimpsng sebagai defence mechanism.
Perilaku-perilaku tersebut diantaranya agresivisme (suka memberontak, mencela,
memukul, merusak), regresivisme (perilaku yang kekanak-kanakan), resignation
(perilaku yang kehilangan arah karena ketidakmampuan mewujudkan
keinginannya karena tekanan otoritas).
e.
Faktor Biologis
Hubungan faktor biologis secara
khusus dengan keadaan kelainan perilaku dan emosi sangat jarang ditemukan,
sebab kelainan perilaku dan kelainan emosi tidak dapat dideteksi melalui
kerusakan biologis. Adakalanya perilaku anak termasuk normal, tetapi yang bersangkutan
mengalami kerusakan biologis serius; dan sebaliknya anak secara fisik normal ,
tetapi menunjukkan gangguan emosi dan perilaku secara serius. Hal yang pasti
adalah anak lahir dengan kondisi fisik biologis tertentu akan menentukan style
perilaku (temperamen). Anak yang mengalami kesulitan menempatkan
temperamennya, akan memberikan kecenderungan untuk berkembangnya kondisi
kelainan perilaku dan emosi. Faktor-faktor yang memberikan konstribusi terhadap
buruknya temperamen seseorang antara lain penyakit, malnutrisi, trauma otak
(Hallahan & Kauffman, 1991).
Dari pemeriksaan electro
encephalogram (EEG) ditemukan, bahwa hasil EEG dari anak-anak yang
melakukan perbuatan menyimpang ada kelainan. Pada orang dewasa kelainan EEG
diketahui pada orang-orang yang telah melakukan perbuatan kriminal. Kelainan
hasil EEG tersebut merupakan indikasi jika salah satu bagian otak
mengalami kerusakan (brain damage), secara fisiologis fungsi otak
tersebut menjadi kurang/ tidak sempurna (brain disfunction). Selain itu,
kelainan pada kelenjar hyperthyroid menyebabkan anak sukar menyesuaikan
diri dan mengalami gangguan emosi. (Kirk, 1970).
2. Faktor
eksternal
a.
Faktor Psikososial
Sigmund
Freud melaui psikoanalisisnya menjelaskan bahwa ketunalarasan disebabkan
pengalaman anak pada usia awal. Pengalaman tidak menyenangkan pada usia awal
mengakibatkan anak menjadi tertekan dan secara tidak disadari berpengaruh pada
penyimpangan perilaku. Pengalaman anak di rumah seperti kualitas hubungan
antara ayah, ibu, serta saudara sekandungnya memberikan pengaruh yang besar
pada perilaku anak. Hubungan interaksional dan transaksional menyebabkan saling
memengaruhi antara anak dengan orang tua, sehingga jika pada anak terdeteksi
mengalami masalah kelainan perilaku dapat dialamatkan pada orang tuanya
(Sameroff, Steifer, Zax, 1982) dalam https://phierda.wordpress.com/2012/11/04/anak-tuna-laras-dan-karakteristiknya/ Orang tua
yang lemah dalam menegakkan disiplin anak, yang ditandai dengan penolakan,
bermusuhan, kekejaman, dapat menumbuhkan perilaku yang menyimpang seperti
agresif atau kejahatan lainnya (Hallahan & Kauffman, 1991).
b.
Lingkungan Keluarga
Keluarga adalah peletak dasar
perasaan aman (emitional security) pada anak, dalam keluarga pula anak
memperoleh pengalaman pertama mengenai perasaan dan sikap sosial. Lingkungan
keluarga yang tidak mampu memberikan dasar perasaan aman dan dasar untuk
perkembangan sosial dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku pada
anak. Faktor yang terdapat dalam keluarga yang berkaitan dengan ganguan emosi
dan tingkah laku, diantaranya yaitu:
a.
Kasih sayang dan perhatian
Kasih sayang
dan perhatian orang tua dan anggota keluarga lain sangat dibutuhkan oleh anak.
Kurangnya kasih sayang dan perhatian orang tua mengakibatkan anak mencarinya
diluar rumah. Dia bergabung dengan kawan-kawanya dan membentuk suatu kelompok
anak yang merasa senasib. Mengenai
hal ini Sofyan S. Willis (1981) dalam https://phierda.wordpress.com/2012/11/04/anak-tuna-laras-dan-karakteristiknya/ mengemukakan
bahwa mereka berkelompok untuk memenuhi kebutuhan yang hampir sama, antara lain
untuk mendapatkan perhatian dari orang tua dan masyarakat.
Selain sikap diatas, tidak jarang
diantara orang tua justru memberikan kasih sayang, perhatian, dan bahkan
perlindungan yang berlebihan. Sikap memanjakan menyebabkan ketergantungan pada
anak sehingga jika anak mengalami kegagalan dalam mencoba sesuatu ia lekas
menyerah dan merasa kecewa, sehingga pada akhirnya akan timbul rasa tidak
percaya diri/rendah diri pada anak.
b.
Keharmonisan keluarga
Berdasarkan
hasil studinya, Hetherington (dalam Kirk & Gallagher, 1986) dalam menyimpulkan
bahwa hampir semua anak yang mengalami perceraian orang tua mengalami masa
peralihan yang sangat sulit. Orang tua yang sering berselisih paham dalam
menerapkan peraturan atau disiplin dapat menimbulkan keraguan pada diri anak
akan kebenaran suatu norma, sehingga anak akhirnya mencari jalan sendiri dan
hal ini dapat saja menjadi awal dari terjadinya gangguan tingkah laku.
c.
Kondisi ekonomi
Lemahnya
kondisi ekonomi keluarga dapat pula menjadi salah satu penyebab tidak
terpenuhinya kebutuhan anak, padahal seperti kita ketahui pada diri anak timbul
keinginan-keinginan untuk dapat menyamai temannya yang lain, misalnya: dalam
berpakaian, kebutuhan akan hiburan, dan lain-lain. Tidak terpenuhinya kebutuhan
tersebut dalam keluarga dapat mendorong anak mencari jalan sendiri yang kadang kadang mengarah pada tindakan antisosial. G.W. Bawengan (1977) dalam https://phierda.wordpress.com/2012/11/04/anak tuna laras dan karakteristiknya/ menyatakan bahwa kondisi-kondisi
seperti kemiskinan atau pengangguran secara relatif dapat melengkapi
rangsangan-rangsangan untuk melakukan pencurian, penipuan, dan perilaku
menyimpang lainnya.
d.
Lingkungan Sekolah
Sekolah
merupakan tempat pendidikan yang kedua bagi anak setelah keluarga. Tanggung
jawab sekolah tidak hanya sekedar membekali anak didik dengan sejumlah ilmu
pengetahuan, tetapi sekolah juga bertanggung jawab membina kepribadian anak
didik sehingga menjadi individu dewasa yang bertanggung jawab baik terhadap
dirinya sendiri maupun terhadap masyarakat yang lebih luas. Akan tetapi sekolah
tidak jarang menjadi penyebab timbulnya gangguan tingkah laku pada anak seperti
dikemukakan Sofyan Willis (1978)dalam https://phierda.wordpress.com/2012/11/04/anak-tuna-laras-dan-karakteristiknya/ bahwa dalam
rangka membina anak didik kearah kedewasaan, kadang-kadang sekolah juga
penyebab dari timbulnya kenakalan remaja.
Timbulnya gangguan tingkah laku yang
disebabkan lingkungan sekolah antara lain disebabkan dari guru sebagai tenaga
pelaksana pendidikan, fasilitas penunjang yang dibutuhkan anak didik. Perilaku
guru yang otoriter mengakibatkan anak merasa tertekan dan takut menghadapi
pelajaran. Anak lebih memilih membolos dan berkeluyuran pada saat ia seharusnya
berada dalam kelas. Sebaliknya, sikap guru yang terlampau lemah dan membiarkan
anak didiknya tidak disiplin mengakibatkan anak didik berbuat sesuka hati dan
berani melakukan tindakan yang menentang peraturan.
Selain guru, fasilitas pendidikan
juga berpengaruh pula terhadap terjadinya gangguan tingkah laku. Sekolah yang
kurang mempunyai fasilitas pendidikan berpengaruh pula terhadap terjadinya
gangguan tingkah laku. Sekolah yang kurang mempunyai fasilitas yang dibutuhkan
anak didik utuk menyalurkan bakat dan mengisi waktu luang mengakibatkan anak
menyalurkan aktivitasnya pada hal-hal yang kurang baik.
a.
Lingkungan Masyarakat
Lingkungan
tempat anak berpijak sebagai makhluk sosial adalah
masyarakat. Menurut Bandura (dalam Kirk & Gallagher, 1986) dalam https://phierda.wordpress.com/2012/11/04/anak-tuna-laras-dan-karakteristiknya/ salah satu
hal yang nampak mempengaruhi pola perilaku anak dalam lingkungan sosial adalah
keteladanan, yaitu menirukan perilaku orang lain. Disamping pengaruh-pengaruh
yang bersifat positif, di dalam lingkungan masyarakat juga terdapat banyak
sumber yang merupakan pengaruh negatif ditambah hiburan yang tidak sesuai
dengan perkembangan jiwa anak merupakan sumber terjadinya kelainan tingkah
laku. Hal ini terutama terjadi di kota-kota besar dimana berbagai fasilitas
tontonan dan hiburan yang tak tersaring oleh budaya lokal.
Ekspresi
lain dari kondisi lingkungan masyarakat sekitar yang berpengaruh terhadap
kelainan perilaku (tunalaras) anak diantaranya daerah yang terlalu padat, angka
kejahatan tinggi, kurangnya fasilitas hiburan/rekreasi, tidak adanya aktivitas
yang terorganisasi (Moerdiani, 1987) dalam https://phierda.wordpress.com/2012/11/04/anak-tuna-laras-dan-karakteristiknya kurangnya
pengajaran agama oleh masyarakat, pengaruh bacaan/film video porno atau
sadisme, pengaruh penyalahgunaan abat-obatan terlarang (nafza), dan minuman
keras.
Masuknya pengaruh kebudayaan asing
yang kurang sesuai dengan tradisi yang dianut oleh masyarakat yang diterima
begitu saja oleh kalangan remaja dapat menimbulkan konflik yang sifatnya
negatif. Di satu pihak remaja menganggap bahwa kebudayaan asing itu benar,
sementara di pihak lain masyarakat masih memegang norma-norma yang bersumber
adat istiadat dan agama. Selanjutnya konflik juga timbul pada diri anak sendiri
yang disebabkan norma yang dianut di rumah atau di keluarga bertentangan dengan
norma dan kenyataan di dalam masyarakat. Misalnya: seorang dalam keluarga
ditekankan untuk bertingkah laku sopan dan menghargai orang lain, akan tetapi
ia menemukan kenyataan lain dalam masyarakat dimana banyak ditemukan tindakan
kekerasan dan tidak adanya sikap saling menghargai.
E. Perkembangan
Kognitif, Kepribadian, Emosi, dan Sosial Anak Tunalaras
1. Perkembangan
Kognitif Anak Tunalaras
Anak
tunalaras memiliki kecerdasan yang tidak berbeda dengan anak-anak pada umumnya.
Prestasi yang rendah di sekolah disebabkan mereka kehilangan minat dan
konsentrasi belajar karena masalah gangguan emosi yang mereka alami. Kegagalan
dalam belajar di sekolah seringkali menimbulkan anggapan bahwa mereka memiliki
intelegensi yang rendah. Memang anggapan tersebut tidak sepenuhnya keliru
karena diantara anak yang tunalaras juga ada yang mengalami keterbelakangan
mental. Kelemahan dalam perkembangan kecerdasan ini justru yang menjadi
penyebab timbulnya gangguan tingkah laku. Masalah yang dihadapi anak dengan
intelegensi rendah di sekolah adalah ketidakmampuan untuk menyamai
teman-temannya, padahal pada dasarnya seorang anak tidak ingin berbeda dengan
kelompoknya terutama yang berkaitan dengan prestasi belajar. Mengenai hal ini
Ny. Singgih Gunarsa (1982)dalam https://phierda.wordpress.com/2012/11/04/anak-tuna-laras-dan-karakteristiknya/
mengemukakan bahwa kecemasan dirinya berbeda dengan kelompoknya menimbulkan
kesulitan pada anak dengan cara penyelesaian yang seringkali tidak sesuai
dengan cara penyesuaian yang wajar.
Ketidakmampuan anak untuk bersaing
dengan teman-temannya dalam belajar dapat menyebabkan anak frustasi dan
kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri sehingga anak mencari kompensasi
yang sifatnya negatif, misalnya: membolos, lari dari rumah, berkelahi, mengacau
dalam kelas, dan sebagainya. Akibat lain dari kelemahan intelegensi ini
terhadap gangguan tingkah laku adalah ketidakmampuan anak untuk memperhitungkan
sebab akibat dari suatu perbuatan, mudah dipengaruhi serta mudah pula
terperosok ke dalam tingkah laku yang negatif.
Disamping anak yang berintelegensi
rendah, tidak berarti anak yang memiliki intelegensi tinggi tidak memiliki
masalah. Anak berintelegensi tinggi seringkali memiliki masalah dalam
penyesuaian diri dengan teman-temannya. Ketidaksejajaran antara pekembangan
intelegensi dengan kemampuan sosial mengakibatkan anak mengalami kesulitan
penyesuaian diri dengan kelompok anak yang lebih tua (tetapi setara dalam
kemampuan mentalnya). Anak yang pintar dengan hambatan ego emosional seringkali
mempunyai anggapan negatif terhadap sekolah. Ia menganggap sekolah terlalu
mudah dan guru menerangkan terlalu lambat.
Masalah lain yang dihadapi anak ini
dalam hubungannya dengan orang lain adalah sikap tidak mau kalah. Mereka selalu
ingin berhasil dan tidak mau ikut dalam permainan dengan kemungkinan dikalahkan
orang lain. Hal ini nampak dari sikap anak yang selalu ingin lebih unggul dari
teman-temannya sehingga apabila suatu waktu dia mengalami kekalahan, maka ia
cenderung untuk selalu merasa mudah kecewa.
2. Perkembangan
Kepribadian Anak Tunalaras
Kepribadian akan mewarnai peranan
dan kedudukan seseorang dalam berbagai kelompok dan akan mempengaruhi kesadaran
sebagai bagian dari kepribadian akan dirinya. Dengan demikian kepribadian akan
menjadi penyebab seseorang berperilaku menyimpang. Menifestasi kepribadian yang
teramati tampak dalam interaksi individu dengan lingkungannya, dan pada
dasarnya interaksi ini sebagai upaya bentuk pemenuhan kebutuhan.
Tingkah laku yang ditampilkan orang
ini erat sekali kaitannya dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Sejak lahir
setiap individu sudah dibekali dengan berbagai kebutuhan dasar yang menuntut
pemenuhan kebutuhan, dan untuk itu setiap individu senantiasa berusaha
memenuhinya yang diwujudkan dalam berbagai lingkungannya. Konflik psikis dapat
terjadi apabila terjadi benturan antara usaha pemenuhan kebutuhan dengan norma
sosial. Kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian konflik, dapat
menjadikan stabilitas emosi terganggu. Selanjutnya mendorong terjadinya perilaku
menyimpang dan dapat menimbulkan frustasi pada diri individu. Keadaan seperti
ini yang berkepanjangan dan tidak terselesaikan dapat menimbulkan frustasi pada
diri individu. Apabila keadaan ini berkepanjangan maka dapat menimbulkan
gangguan.
3. Perkembangan
Emosi Anak Tunalaras
Terganggunya perkembangan emosi
merupakan penyebab dari tingkah laku anak tunalaras. Ciri yang menonjol pada
mereka adalah kehidupan emosi yang tidak stabil, ketidakmampuan mengekspresikan
emosinya secara tepat, dan pengendalian diri yang kurang sehingga mereka
seringkali menjadi sangat emosional. Terganggunya kehidupan emosi ini terjadi
sebagai akibat ketidakberhasilan anak dalam melewati fase-fase perkembangan.
Kematangan emosional seorang anak
ditentukan dari hasil interaksi dengan lingkungannya, dimana anak belajar
tentang bagaimana emosi itu hadir dan bagaimana cara untuk mengekspresikan
emosi-emosi tersebut. Perkembangan emosi ini berlangsung terus menerus sesuai
perkembangan usia, akan banyak pula pengalaman emosional yang diperoleh anak.ia
semakin banyak merasakan berbagai macam perasaan. Akan tetapi tidak demikian
dengan anak tunalaras. Ia tidak mampu belajar dengan baik dalam merasakan dan
menghayati berbagai macam emosi yang mungkin dapat dirasakan, kehidupan
emosinya kurang bervariasi dan ia pun kurang dapat mengerti dan menghayati
perasaan orang lain. Mereka juga kurang mampu mengendalikan emosinya dengan
baik sehingga seringkali terjadi peledakan emosi. Ketidakstabilan emosi ini
menimbulkan penyimpangan tingkah laku, misalnya: mudah marah dan mudah
tersinggung, kurang mampu memahami perasaan orang lain, berperilaku agresif,
menarik diri, dan sebagainya. Perasaan-perasaan seperti itu akan mengganggu
situasi belajar dan akan mengakibatkan prestasi belajar yang tidak sesuai dengan
potensi yang dimilikinya.
4. Perkembangan
Sosial Anak Tunalaras
Sebagaimana telah kita pahami bahwa
anak tunalaras mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial dengan orang
lain atau lingkungannya. Hal ini tidak berarti bahwa mereka sama sekali tidak
memiliki kemampuan untuk membentuk hubungan sosial dengan semua orang. Dalam
banyak kejadian ternyata mereka dapat menjalin hubungan sosial yang sangat erat
dengan teman-temannya. Mereka mampu membentuk suatu kelompok yang kompak dan
akrab serta membangun keterikatan antara yang satu dengan yang lainnya.
Anak tunalaras memiliki penghayatan
yang keliru, baik tehadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan sosialnya.
Mereka menganggap dirinya tak berguna bagi orang lain dan merasa tidak
berperasaan. Oleh karena itu timbullah kesulitan apabila akan menjalin hubungan
dengan mereka. Apabila berhasil sekalipun mereka akan menjadi sangat tergantung
kepada seseorang yang pada akhirnya dapat menjalin hubungan sosial dengannya.
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pembahsan diatas dapat disimpulkan bahwa anak-anak berkebutuhan khusus
berkelainan fisik meliputi:
1.
Anak tunanetra
a.
Klasifikasi anak
tunanetra
Anak tunanetra adalah anak-anak yang mengalami kelainan atau gangguan
fungsi penglihatan, yang dinyatakan dengan tingkat ketajaman penglihatan atau
visus sentralis diatas 20/200 dan secara pedagogis membutuhkan layanan
pendidikan khusus dalam belajarnya di sekolah.
b.
Yang menjadi karakteristik
anak-anak tunanetra antara lain dapat
dilihat dari segi fisik, segi motorik,
perilaku, akademik, pribadi dan sosial.
2.
Anak tunarungu
Tunarungu adalah istilah yang menunjuk pada kondisi
ketidakfungsian organ pendengaran atau telinga seseorang anak. Kondisi ini
menyebabkan mereka memiliki karakteristik yang khas, berbeda dari anak-anak
normal pada umumnya.
Yang menjadi karakteristik anak-anak tunarungu antara lain dapat dilihat dari segi fisik, segi bahasa,
intelektual, sosial-emosional.
3.
Anak tunadaksa
Anak tunadaksa adalah kelainan yang meliputi cacat
tubuh atau kerusakan tubuh, kelainan atau kerusakan pada fisik dan kesehatan
dan kelainanan atau kerusakan yang disebabkan oleh kerusakan otak dan saraf
tulang belakang.
a.
Klasifikasi anak
tunadaksa meliputi beberapa golongan antara lain:
1.
Penggolongan
cerebral palsy menurut derajat kecacatan.
2.
Golongan
cerebral palsy menurut topografi monoplegia, adalah kecacatan satu anggota
gerak, kaki kanan.
3.
Golongan menurut
fisiologi.
b.
Yang menjadi
karakteristik anak tunadaksa adalah: gangguan motorik, gangguan sensorik,
gangguan tingkat kecerdasan, kemampuan berbicara, emosi dan penyesuaian sosial.
4.
Tuna wicara
Tunawicara
adalah individu yang mengalami gangguan atau hambatan dalam dalam komunikasi
verbal sehingga mengalami kesulitan dalam berkomunikasi.
a. Faktor penyebab tuna wicara dapat terjadi karena gangguan ketika: gangguan pre natal, gangguan neo
natal, gangguan pos natal.
b. Tunawicara secara umum diklasifikasikan menjadi 4 bagian,yaitu: keterlambatan bicara (Delayed speech ), gagap (stuttering), kehilangan kemapuan berbahasa(disphasia), kelainan
suara(voice disorder).
c. Yang
merupakan karakterisktik anak tunawicara adalah : Karakteristik bahasa, kemampuan
intelegensi, Penyesuaian emosi,sosial dan
perilaku
Sedangkan anak berkebutuhan khusus berkelainan emosi (Tunalaras)
Anak berkebutuhan khusus adalah anak
yang mengalami gangguan/ hambatan emosi dan tingkah laku sehingga tidak/ kurang
menyesuaikan diri dengan baik, baik terhadap lingkungan, sekolah, maupun
masyarakat.
1. Klasifikasi
anak tunalaras
a.
Menurut jenis ganguan atau hambatan yaitu Gangguan
emosi, Gangguan sosial.
b.
Klasifikasi berat-ringan nya kenakalan
yaitu Besar-kecilnya gangguan emosi, Frekuensi tindakan, Berat-ringan nya
pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan.
c.
Yang menjadi karakteristik
anak tunalaras antara lain: Anak yang mengalami kekacauan tingkah laku, merasa
cemas dan menarik diriAnak yang kurang dewasa, anak yang agresif bersosialisasi.
Daftar
Pustaka
Fuziah,
fatin. 2012. Makalah Anak Tunawicara.http://fathinfauziah.blogspot.com. Diunduh
pada tanggal 25 Januari 2015.
Novikasari, Mely. 2014. ABK Berkelainan Fisik.http://mely novikasari loelhabox.blogspot.com.
Diunduh pada tanggal 24 Januari 2015
Phierda. 2012. Anak Tuna Laras Dan Karakteristiknya .https://phierda.wordpress.com. Diunduh pada tanggal 25 Januari 2015.
Rizki,Nofriyani.2013. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus.http://nofriyanirezki.blogspot.com. Diunduh
pada tanggal 24 Januari 2015.
Santoso, Hargio. 2012. Cara Memahami dan Mendidik Anak Berkebutuhan Khusus.Yogyakarta:
Gosyen Publishing.
Suparno dan Heri Purwanto.Pendidikan Anak Kebutuhan Khusus. file:///C:/Users/PIC/Downloads/Documents/Pendidikan+Anak+Kebutuhan+Khusus+UNIT+4.pdf. Diunduh pada tanggal 24 Januari 2015.
sebelumnya maaf jika isinya kurang, kami masih sebatas ini mampunya semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar