KONSELING LINTAS BUDAYA
NILAI-NILAI BUDAYA: KONSEPSI WAKTU,
HIDUP BERGANTUNG PADA NASIB, SIKAP KEKELUARGAAN & GOTONG ROYONG DAN NILAI
BUDAYA VERTIKAL
Disusun oleh: Kelompok
7
Astie Ratnasari
|
06071281320007
|
Anisa Dwi Arfiani
|
06071281320012
|
Aryani
|
060711813200
|
Afsari
|
060711813200
|
Dwi Anggerweni Putri
|
060711813200
|
Nita Triana
|
060711813200
|
Tiara Wulandari
|
06071281320020
|
|
|
Dra.
Harlina,M.Sc.
PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebudayaan
tidak terpiashkan dari masyarakat sehingga manusia sebagai bagian masyarakat
(makhluk sosial) tidak dapat terlepas dari konteks sosial budaya, yaitu
nilai-nilai budaya dimana dia berada. Karakteristik manusia sedikit banyak
dibentuk dari budaya masyarakatnya.
Kebudayaan
yang sudah melekat dalam masyarakat dan sudah turun temurun sejak dulu, akan semakin
terkonsep dalam kehidupan masyarakat sehingga menjadi sebuah kepercayaan
terhadap hal-hal yang berhubungan dengan sebuah keyakinan yang sulit untuk
dihilangkan. Kepercayaan-kepercayaan yang masih berkembang dalam kehidupan
suatu masyarakat, biasanya dipertahankan melalui budaya-budaya lokal yang
dimilikinya. Dimana budaya lokal tersebut pada akhirnya menjadi suatu kearifan
yang selalu dipegang teguh oleh masyarakatnya.
Menurut Koentjaraningrat (https://wirasaputra.wordpress.com/) nilai budaya terdiri dari konsepsi – konsepsi
yang hidup dalam alam fikiran sebaagian
besar warga masyarakat mengenai hal – hal yang mereka anggap amat
mulia.
Nilai-nilai
budaya yang masih ada biasanya masih dipertahankan oleh masyarakat yang masih
memiliki tingkat kepercayaan yang kuat. Kepercayaan yang masih menjadi tradisi
dalam masyarakat juga disebabkan karena kebudayaan yang ada biasanya bersifat
universal sehingga kebudayaan tersebut telah melekat pada masyarakat dan sudah menjadi
hal yang pokok dalam kehidupannya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
orientasi nilai-nilai budaya yang meliputi konsepsi waktu, hidup bergantung
pada nasib, sikap kekeluargaan dan gotong royong serta nilai budaya vertikal?
1.3 Tujuan
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat memahami orientasi
nilai-nilai budaya yang meliputi konsepsi waktu, hidup bergantung pada nasib,
sikap kekeluargaan dan gotong royong serta nilai budaya vertikal dalam
kehidupan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Nilai-Nilai Budaya: Konsepsi Waktu,
Hidup Bergantung pada Nasib, Sikap Kekeluargaan dan Gotong Royong, Nilai Budaya
Vertikal
Konseling lintas budaya
dijadikan salah satu strategi yang didasari atas pertimbangan, bahwa
dalam bersosialisasi akan
selalu terjadi jalinan hubungan
yang manusiawi (human relationship) bersifat interpersonal yang membedakan manusia dengan
hewan, walaupun adegan (setting) yang
berlangsung tersebut sifatnya berbentuk kelompok. Hubungan
seperti itu sejalan
dengan prinsip dasar konseling
yang berupaya untuk membantu (helping) individu
melalui hubungan interpersonal (antar-pribadi) antara
konselor (helper) dengan klien untuk mencapai keberartian hidup,
kemadiran, dan tanggung jawab.
Di samping itu, dalam
hubungan manusiawi yang bersifat interpersonal akan terbentuk komunikasi yang akan
melibatkan aspek pengetahuan, sikap, nilai, maupun
keterampilan dari masing-masing peserta komunikasi yang beragam sehingga hal tersebut rentan terhadap kesalah-pahaman budaya.
Konseling lintas budaya adalah pelbagai hubungan
konseling yang melibatkan para peserta yang
berbeda etnik atau
kelompok-kelompok minoritas; atau
hubungan konseling yang melibatkan konselor dan klien yang secara rasial
dan etnik sama, tetapi memiliki
perbedaan budaya yang
dikarenakan
variabel-variabel lain seperti
seks, orientasi seksual, faktor
sosio-ekonomi, dan usia(Atkinson, Morten, dan Sue, 1989:37).
Sehingga lintas budaya
adalah mempelajari berbagai perbedaan yang ada didalam suatu budaya dengan
budaya lain, yang mana perbedaan tersebut bisa berupa seks, orientas seks,
sosial-ekonomi, usia dan lan sebagainya.
Konseling lintas
budaya melibatkan konselor dan
klien yang berasal dari latar belakang budaya yang
berbeda, dan karena itu proses konseling sangat
rawan oleh terjadinya
bias-bias budaya pada
pihak konselor yang mengakibatkan konseling
tidak berjalan efektif.
Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk
memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri
dari bias-bias budaya,
mengerti dan dapat
mengapresiasi diversitas
budaya, dan memiliki
keterampilan-keterampilan yang
responsif secara kultural. Dengan
demikian, maka konseling
dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara
konselor dan klien (Dedi Supriadi, 2001:6). Dalam PDF Sosialisasi Wajar (Wajib
Belajar) Melalalui Konseling Lintas Budaya oleh MamatSupriatna www.blogspot.com
Untuk menciptakan
proses konseling yang efektif, maka konselor tidak membawa budaya sendiri
ketika melakukan proses konseling dan konselor harus memiliki sikap reltive-culture yang mana konselor juga
memandang budaya orang lain (konseli) sebga sesuatu yang unik. Sehingga ketika
terjadi proses konseling yang terjadi adalah pertemuan dua budaya yang berbeda
namun saling menghargai setelah mengetahui letak perbedaanya, jadi semua
terbuka (open) dengan berebagai
budya.
Sebelum konselor melakukan
konseling lintas budaya hendaknya memahami apa saja yang menjadi nilai-nilai
atau patokan, keprcayaa, dan lain sebagainya yang ada dimsyarakat. Karena suatu
masyarakat satu dengan yang lain memilki berbag perbedaan mengenai
kepercayaanya. Berikit dijelaskan secara rinci.
2.1.1
Nilai
Budya
Theodorson dalam Pelly (1994) dalam http://adianlangge.blogspot.com/
mengemukakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang abstrak, yang dijadikan pedoman
serta prinsip – prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku. Keterikatan
orang atau kelompok terhadap nilai menurut Theodorson relatif sangat kuat dan
bahkan bersifat emosional. Oleh sebab itu, nilai dapat dilihat sebagai tujuan
kehidupan manusia itu sendiri.
Nilai sangat erat kaitannya dengan
budaya. Menurut Koentjaraningrat (https://wirasaputra.wordpress.com/) nilai budaya terdiri dari konsepsi – konsepsi
yang hidup dalam alam fikiran sebagian
besar warga masyarakat mengenai hal – hal yang mereka anggap amat
mulia.
Kemudian Sumaatmadja dalam Marpaung (https://wirasaputra.wordpress.com/) mengatakan bahwa pada perkembangan,
pengembangan, penerapan budaya dalam kehidupan,
berkembang pula nilai – nilai yang melekat di masyarakat yang mengatur
keserasian, keselarasan, serta keseimbangan. Nilai tersebut dikonsepsikan
sebagai nilai budaya.
Selanjutnya, bertitik tolak dari
pendapat diatas, maka dapat dikatakan bahwa setiap individu dalam melaksanakan
aktifitas sosialnya selalu berdasarkan serta berpedoman kepada nilai – nilai
atau system nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat itu sendiri. Artinya
nilai – nilai itu sangat banyak mempengaruhi tindakan dan perilaku manusia,
baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang
baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut. Secara universal, nilai itu
merupakan pendorong bagi seseorang dalam mencapai tujuan tertentu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai
budaya adalah suatu bentuk konsepsi umum yang dijadikan pedoman dan petunjuk di
dalam bertingkah laku baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara
keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut yang
mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan dalam mencapai tujuan
tertentu.
Ada tiga hal yang terkait dengan
nilai-nilai budaya ini yaitu :
1.
Simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kelihatan
kasat mata (jelas).
2.
Sikap, tindak laku, gerak gerik yang muncul akibat
slogan, moto tersebut.
3.
Kepercayaan yang tertanam (believe system) yang
mengakar dan menjadi kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku (tidak
terlihat).
Jadi nilai merupakan suatu ciri,
yaitu sebagai berikut:
1.
Nilai-nilai membentuk dasar prilaku seseorang.
2.
Nilai-nilai nyata dari seseorang diperlihatkan melalui
pola perilaku yang konsisten.
3.
Nilai-nilai menjadi kontrol internal bagi perilaku
seseorang.
4.
Nilai-nilai merupakan komponen intelektual dan
emosional dari seseorang yang secara intelektual diyakinkan tentang suatu nilai
serta memegang teguh dan mempertahankannya.
Suatu nilai apabila sudah membudaya
didalam diri seseorang, maka nilai itu akan dijadikan sebagai pedoman atau
petunjuk di dalam bertingkahlaku. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari
– hari, misalnya budaya tentang konsepsi waktu, hidup
bergantung pada nasib, sikap kekeluargaan dan gotong royong dan nilai
budaya vertikal.
2.1.2
Konsepsi
Waktu terhadap Nilai Budaya
Edward T.hall mengemukakan pemikirannya dalam bukunya The
dance of Life (http://hendiafresiareza.blogspot.co.id/) tentang pentingnya waktu bagi komunikasi antarbudaya. Menurut Hall, suatu
kendala dalam hubungan antarbudaya bahwa setiap budaya memiliki kerangka
waktunya sendiri yang ditandai dengan pola-pola yang unik. Asumsi ini
mengisyaratkan bahwa untuk berhasil di luar negeri, apakah kita sebagai mahasiswa,
pembisnis, atau diplomat, kita perlu memahami bahasa waktu Negara setempat yang
boleh jadi berbeda dengan bahasa waktu yang kita anut. Waktu
sangatlah penting karena kita hidup dalam waktu, komunikasi pasti terjadi dalam
waktu juga. Pentingnya waktu bagi komunikasi adalah bahwa seringkali waktu
dengan konteks tertentu (pagi, siang, sore, malam, cepat, lambat, dan
sebagainya) memberikan makna tertentu kepada pesan komunikasi dan sebagai
konsekuensinya juga membawa efek tertentu.
Pada kenyataannya, konsep tentang waktu antara satu
komunitas kebudayaan yang lainnya bisa berbeda-beda. Konsep masa lampau, masa
depan, masa sekarang merupakan konsep dalam pemikiran Barat yang berhubungan
langsung dengan ruang dan tempat. Waktu dan tempat mengikat sebuah komunitas
kebudayaan, disadari atau tidak, setiap orang di Barat berperilaku, berpikir
dengan pengaruh kuat dari masa lalunya, masa sekarang, dan bahkan masa yang
akan datang. Perbedaan konsep tentang waktu membuat suatu
komunitas masyarakat akan mempersepsi waktu dengan cara mereka sendiri-sendiri
yang unik.
Orang-orang yang berorientasi hanya kepada
masa kini. Apa yang dilakukannya hanya untuk hari ini dan esok. Sedangkan
orang-orang yang berorientasi masa lalu akan menjadikan masa lalu sebuah
evolusi diri mengenai apa yang sepatutnya dilakukan dan yang tidak dilakukan.
Lain lagi orang-orang yang berorientasi masa depan. Manusia yang futuristik
pasti lebih maju dibandingkan dengan lainnya, pikirannya terbentang jauh kedepan
dan mempunyai pemikiran yang lebih matang mengenai langkah-langkah yang harus
di lakukannnya. (http://dermawananjas.blogspot.co.id/)
Secara garis besar Edward T.Hall, seorang antropologi
dan pakar komunikasi antarbudaya menjelaskan adanya delapan konsep waktu, yaitu
:
a. Waktu Biologis (Biological Time )
Merupakan waktu alami yang dalam dunia modern
ditunjukkan oleh weker, yang secara tradisional identik dengan irama alam (usia
alam semesta: peredaran bintang, matahari, dan planet; pergantian musim;
pasangnya air laut; kokok ayam; usia manusia). Waktu biologis adalah waktu yang
sejalan dengan siklus kehidupan dan irama tubuh kita. Ada saat lapar, dan ada
saat mengantuk. Fenomena jet lag (kelelahan fisik dan psikis akibat
penerbangan) yang anda rasakan adalah sebagai gejala terjadinya konflik system
waktu antara Waktu biologis anda yang didasarkan atas siklus 24 jam dari planet
kita (waktu yang ditunjukkan weker di Negara asal) dengan waktu setempat yang
ditunjukkan weker.
b. Waktu Pribadi (Personal Time)
Waktu Pribadi mengisyaratkan pengalaman setiap orang
berlainan tentang waktu, bergantung pada situasi, konteks, aktivitas yang
dilakukan, dan keadaan fisiologis dan emosi orang tersebut. Orang yang sedang
menghadapi ujian tertulis yang sulit, merasakan betapa waktu berjalan terlalu
cepat. Lazimnya orang yang berada dalam suasana menyenangkan cenderung
merasakan waktu berlalu cepat, sedangkan orang yang sedang berada dalam
kesusahan cenderung merasakan waku bergerak sangat lambat. Maka waktu dalam hal
ini lebih bersifat subjektif daripada Waktu Biologis.
c. Waktu Fisik (Physical Time)
Ini adalah waktu alami yang diramalkan dan diukur
untuk tujuan-tujuan pragmatis dan ilmiah, seperti waktu yang diramalkan kapan
akan tiba musim hujan atau musim kemarau (sehingga persiapan dapat dilakukan
untuk menyambut musim tersebut), kapan terjadinya gerhana matahari atau gerhana
bulan, kapan awal Ramadhan dan kapan kaum Muslim merayakan Hari Raya Lebaran
dan sebagainya. Waktu fisik, menurut Isaac Newton, waktu bersifat mutlak, tetap
dan tidak berubah, yang berarti bahwa waktu dapat digunakan sebagai standar
untuk mengukur peristiwa (meskipun konsepnya berbeda dengan konsep waktu
Einstein).
d. Waktu Metafisik (Metaphysical Time)
Ini sejenis Waktu Pribadi tetapi lebih subjektif lagi,
dan sulit dijelaskan secara biasa. Baik Waktu Pribadi ataupun Waktu Fisik tidak
dapat menerangkan Waktu Metafisik ini. Contoh Waktu Metafisik adalah saat
orang-orang tertentu menurut pengakuan mereka bertemu dengan malaikan atau
makhluk halus lainnya dalam suatu lingkungan berbeda, atau saat orang
(berdasarkan klaimnya) mengalami “mati” dan kemudian hidup kembali. Pengalaman
ini ditandai dengan hampir tidak adanya kesadaran akan lingkungan fisik yang
mengelilingi orang bersangkutan.
e. Waktu Mikro (Micro Time)
Waktu Mikro dipengaruhi atau terikat oleh budaya
primer. Aturan-aturannya hampir seluruhnya di luar kesadaran. Waktu monokronik
dan waktu polikronik, merupakan dua pola utama Waktu Mikro ini. Meskipun banyak
budaya dapat didominasi oleh pola waktu yang sama (waktu monokronik dan
polikronik), setiap budaya sebenarnya memiliki pola yang sedikit banyak
berbeda.
f. Waktu Sinkron (Sync Time)
Ketika orang berinteraksi, mereka mensinkrinisasikan
gerakan mereka dengan cara yang luar biasa. Orang yang tidak sinkron dengan
kelompoknya dianggap mengganggu kelompok tersebut. Orang, kelompok, budaya,
atau kota berlainan bergerak sesuai dengan iramanya masing-masing. Beradasarkan
Waktu Sinkron mereka masing-masing, orang New York berjalan lebih cepat
daripada penduduk kota kecil Colorado Springs, sebagaimana orang Jakarta
berjalan lebih cepat dibandingkan penduduk Pegunungan Tengger.
g. Waktu Sakral (Sacred Time)
Ini adalah saat yang bersifat imajiner. Anda
membayangkan bahwa saat tertentu begitu suci dan begitu sesuai untuk melakukan
sesuatu. Tingkat kesakralannya tentu saja berbeda-beda. Waktu sakral bagi umat
Islam misalnya dini hari ketika mereka sholat tahajjud, berdzikir, dan
mengajukan doa dan memohon ampunan kepada-Nya. Umat Kristen memiliki waktu sakral
seperti Malam dan Hari Natal, Hari Nyepi buat orang Hindu Bali dan sebagainya.
h. Waktu
Profan (Profan Time)
Waktu Profan
berkembang dari Waktu Fisik, hanya saja waktu Profan begitu mendominasi
kehidupan kita sehari-hari. Ini adalah waktu yang eksplisit, dibicarakan, dan
dirumuskan. Waktu Profan ditandai dengan menit, jam, hari, minggu, bulan,
tahun, decade, abad dan millennium. Sistem Waktu Profan dan Waktu Sakral saling
melengkapi. Oleh karena Waktu Profan dan Waktu Sakral begitu lekatnya satu sama
lain, banyak orang tidak bersedia mengubah atau menunda Waktu Sakral mereka.
Kaum Kristiani tidak akan bersedia memajukan Hari Natal berdasarkan alasan
bahwa Hari Natal terlalu dekat dengan tahun baru.
i.
Waktu Meta (Meta Time)
Waktu Meta adalah definisi, konsep, model, atau teori
tentang waktu dan sifat-sifatnya. Waktu Meta bukan waktu sebenarnya, melainkan
waktu yang diabstraksikan dari berbagai peristiwa waktu. Definisi dan konsep
berlainan atau bahkan bertentangan tentang waktu disebabkan oleh beragamnya
perspektif yang digunakan, termasuk perspektif yang normative. Dalam pandangan
Al-Ghazali, waktu bersifat relative. Waktu adalah kerangka independent yang
mewadahi perubahan alih-alih merupakan ukuran perubahan.
Jadi, waktu, sebagai sebuah unsur penting dalam
komunikasi menjadi fokus pembahasan komunikasi antarbudaya, karena konsep waktu
akan memengaruhi keberhasilan tindak komunikasi antarbudaya.
2.1.3
Hidup Bergantung Nasib
Orang yang terlalu bergantung pada nasib artinya
menyerahkan diri pada
nasibnya sendiri, kehilangan semangat untuk berikhtiar, menjalani kehidupan tanpa repot-repot membuat
rencana, kendati banyak alternatif tidak
memandang perlu mengambil pilihan, menunda keputusan sampai nasib menghampirinya, kehilangan
harapan yang optimis; bahkan mungkin
melupakan firman Allah atas pentingnya ikhtiar untuk mengubah nasib.
2.1.4
Sikap Kekeluargaan
Lewis Henry Morgan pada bukunya Systems
of Consanguinity and Affinity of
the Human Family (http://srikandimenggugat.blogspot.co.id/) membatasi kekeluargaan atas seks (saudara
perempuan dan laki – laki), generasi (kakek, ayah, dan anak), serta pernikahan.
Kekeluargaan berasal dari kata keluarga yang
mendapat awalan ke- dan akhiran -an. Keluarga sendiri berasal dari bahasa
Sansekerta, kula artinya saya dan warga yang artinya orang disekitar kita.
Keluarga juga memiliki makna orang yang masih
sealiran darah dengan kita.Keluarga adalah satu unit sosial yang terdiri dari
dua atau lebih orang yang dihubungkan oleh ikatan darah, ikatan perkawinan,
atau adopsi dan hidup/tinggal serumah atau mungkin tidak serumah.
Namun, dewasa kini teori ini tidak relevan lagi
dengan keadaan masyarakat modern saat ini, kekeluargaan tidak hanya ditentukan
oleh hubungan darah yang bersifat biologis, kekuatan ekonomi seseorang
memainkan peranan yang besar, begitupula emosi, kesehatan mental seseorang,
serta kekompakan sebuah kelompok.
Sikap kekeluargaan memiliki makna sebagai perilaku
yang menunjukkan sebuah manifestasi yang cenderung didasari rasa familiar yang
tinggi dengan wujud responsible yang mempertimbangkan hubungan keakraban
sebagai kedekatan keluarga kepada orang lain, sehingga dengan manifestasi
tingkah lakunya ini menimbulkan keakraban rasa dekat seperti layaknya keluarga
yang memiliki hubungan darah.
Budaya kekeluargaan memang terasa asing saat ini
di Barat, karena tingginya tingkat induvidualisme yang juga turut menyebabkan
pertanyaan dikalangan antropolog, apakah benar sesuatu yang bernama
kekeluargaan itu ada. Namun tidak begitu dengan negara kita, Indonesia.
Kekeluargaan telah menjadi budaya di negeri ini, dan kita sebagai masyarakat di
dalamnya menyadari penuh keberadaannya. Budaya kekeluargaan menjadi sesuatu yang
sangat substansial bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Semangat kekeluargaan telah mendarah daging di dalam jiwa bangsa Indonesia.
Hal ini pun terjadi di dalam fondasi diplomasi Indonesia, di mana Indonesia
sebagai negara sangat menjunjung tinggi kekeluargaan di antara negara – negara
di dunia, dengan mengedepankan perdamaian, dibandingkan diplomasi yang agresif.
Melalui pelajaran Kewarganegaraan kita pun diajarkan betapa pentingnya
mempertahankan budaya kekeluargaan (yang katanya sangat Indonesia), lewat sikap
tenggang rasa, peduli, kerja sama dan saling membantu satu sama lain. Secara sadar
maupun tak sadar bangsa ini telah membawa kekeluargaan ke dalam berbagai lini
kehidupannya.
Masyarakat harus tetap melestarikan budaya kekeluargaan, karena budaya ini
adalah salah satu budaya yang mengakar kuat di dalam masyarakat kita. Namun
masyarakat harus tetap bijaksana dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari. Jangan sampai dalam hal-hal yang bersifat profesional, masyarakat
membawa nama kekeluargaan, sehingga muncul keputusan-keputusan yang bersifat
bias, tanpa mempertimbangkan rasionalitas.
2.1.5
Gotong
Royong
Gotong-royong
sebagai bentuk solidaritas sosial, terbentuk karena adanya bantuan dari pihak
lain, untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompok, sehingga di
dalamnya terdapat sikap loyal dari setiap warga sebagai satu kesatuan.
Kerjasama
yang dilakukan secara bersama-sama disebut sebagai gotong-royong, akhirnya
menjadi strategi dalam pola hidup bersama yang saling meringankan beban
masing-masing pekerjaan. Adanya kerjasama semacam ini merupakan suatu bukti
adanya keselarasan hidup antar sesama bagi komunitas, terutama yang masih
menghormati dan menjalankan nilai-nilai kehidupan, yang biasanya dilakukan oleh
komunitas pedesaan atau komunitas tradisional. Tetapi tidak menuntup
kemungkinan bahwa komunitas masyarakat yang berada di perkotaan juga dalam
beberapa hal tertentu memerlukan semangat gotong-royong.
Kehidupan
warga suatu komunitas yang terintegrasi dapat dilihat dari adanya solidaritas
di antara mereka melalui tolong-menolong tanpa keharusan untuk membalasnya,
seperti adanya musibah atau membantu warga lain yang dalam kesusahan.
Gotong-royong
dapat dikatakan sebagai ciri dari bangsa Indonesia terutama mereka yang tinggal
di pedesaan yang berlaku secara turun temurun, sehingga membentuk perilaku
sosial yang nyata kemudian membentuk tata nilai kehidupan sosial. Adanya nilai
tersebut menyebabkan gotong-royong selalu terbina dalam kehidupan komunitas
sebagai suatu warisan budaya yang patut dilestarikan.
2.1.6
Nilai
Budaya Vertikal
Secara
nyata orientasi vertikal itu adalah ketaatan pada orang tua, orang senior,
guru, pemimpin, orang berpangkat tinggi, komandan, dan sebagainya, sehingga
seseorang dengan orientasi vertikal tidak akan bertindak tanpa suatu instruksi
atau restu dari atas. Orientasi budaya vertikal dapat juga berarti rasa
ketergantungan kepada tokoh-tokoh yang mempunyai otoriter untuk memerintah dan
memimpin.
Nilai yang
terlampau berorientasi vertikal ke arah atasan akan mematikan jiwa yang ingin
berdiri sendiri dan berusaha sendiri, dan akan menyebabkan timbulnya rasa
disiplin pribadi yang murni, karena orang hanya akan taat kalau ada pengawasan
dari atas, tetapi akan merasa tak terikat lagi kalau pengawasan tadi menjadi
kendor. Akhirnya nilai yang terlampau berorientasi ke arah atas akan juga
mematikan rasa tanggung jawab ke atas, atau kalau tidak bisa, untuk selalu
membagi rata tanggung jawab itu dengan orang lain sehingga rasa tanggung jawab
sendiri itu menjadi sekecil mungkin. (http://abahanomkurnaedi.blogspot.co.id/)
Namun
demikian nilai budaya yang berorientasi ke atas atau vertikal, sampai
batas-batas tertentu dapat mempunyai makna positif, karena dapat dipergunakan
sebagai taktik untuk mengajak rakyat berpartisipasi dalam pembangunan. Dalam
proses kepemimpinan, orientasi vertikal ini dapat menjadi alat yang ampuh bagi
seorang pemimpin terutama dalam hal memberi teladan kepada para bawahanya.
Sistem nilai
budaya yang diyakini dan dianut oleh sebagian besar warga masyarakatnya, sangat
mempengaruhi pola dan perilaku kepemimpinan dari para administrator atau
pemimpin. Begitu juga halnya dengan orang yang dipimpin, nilai budaya
masyarakanya senantiasa mewarnai pola perilakunya dalam interaksi dengan
atasannya.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Didalam
konseling lintas budaya yang harus diperhatikan oleh konselor adalah karakteristik
konseli, lingkungan yang tinggali, serta budaya yang ia percayai. Karena setiap
ndividu itu berbeda dan perbedaan individu slah satunya terletak kepada
pembentukan dari budaya sekitar sehingga terbentukalah barbagai macam
karakterstik individu, selain itu faktor lingkungan serta pola asuh orang tua
juga yang dapat membentuk karakter individu.
Maka
sebagai konselor yang profesional, sebelum melakukan konseling lintas budaya
lebih lanjut hendaknya memahami terlebih dahulu budaya ndividu baik nilai-nilai
budayanya sperti kepercayaan baik terhadap agama atapun yang lain. Dan juga
memahami mengenai waktu, karena waktu terus berkembang maka konselor dituntut
untuk update mengenai perkembangan
budaya dan waktu.
Selanjutnya
konselor paham bagaman sikap kekeluargaan dan gotong royong yang dimliki oleh
individu, sikap tersebut bukan datang atau diperoleh dari gen malainkan proses
dar belajar denagn lingkunhan dan dalm lingkungan tersebut yang terdapat
budaya, maka individu yang satu dengan individu yang lain berebeda mengenai
sikap kekeluargaan dan gotong royong. Meski setiap individu memliliki akan
sikap itu, namun insensitasnya berbeda tergantung bagaman ia belajar dari
lingkungan dna budaya sekitar.
Dan
sistem nilai
budaya yang diyakini dan dianut oleh sebagian besar warga masyarakatnya, sangat
mempengaruhi pola dan perilaku kepemimpinan dari para administrator atau
pemimpin. Begitu juga halnya dengan orang yang dipimpin, nilai budaya
masyarakanya senantiasa mewarnai pola perilakunya dalam interaksi dengan
atasannya. Karena dengan budaya dan warna warni budaya masyarakat mampu
bertahan hidup dengan saling mengashi dan memahami perbedaan sehingga
terbentuklah persatuan.
DAFTAR PUSTAKA
Anjas, Dermawan.
2013. Ilmu Budaya Dasar dalam Pandangan
Hidup. http://dermawananjas.blogspot.co.id/ diunduh
pada tanggal 10 Oktober 2015.
Anom, Abah
Kurnaedi. 2012. Kepemimpinan dalam
Konteks Sistem Nilai. http://abahanomkurnaedi.blogspot.co.id/ diunduh pada tanggal 10 Oktober 2015.
Fresiareza,
Hendia. 2011. Konsep Waktu. http://hendiafresiareza.blogspot.co.id/ diunduh pada tanggal 10 Oktober 2015.
Kamil,
Gurniwan. 2014. Gotong
Royong. sosiologi.upi.edu. diunduh pada tanggal 10 Oktober
2015.
Langge, Adian.
2013. Pengertian Konsep Nilai dan Sistem.
http://adianlangge.blogspot.Co.id/ diunduh pada tanggal 10 Oktober 2015.
Supriatna,
Mamat. 2014. Sosialisasi Wajar (Wajib
Belajar) Melalalui Konseling Lintas Budaya www.blogspot.com diunduh pada tanggal 10 Oktober 2015.
Saputra, Wira.
2011. Nilai Budaya, Sistem Nilai, dan
Orientasi Nilai Budaya. https://wirasaputra.wordpress.com/ diunduh pada
tanggal 10 Oktober 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar