Jumat, 22 Januari 2016

BK Lintas Budaya: Nilai-Nilai Budaya: Konsepsi Waktu, Hidup Bergantung Pada Nasib, Sikap Kekeluargaan & Gotong Royong Dan Nilai Budaya Vertikal

KONSELING LINTAS BUDAYA
NILAI-NILAI BUDAYA: KONSEPSI WAKTU, HIDUP BERGANTUNG PADA NASIB, SIKAP KEKELUARGAAN & GOTONG ROYONG DAN NILAI BUDAYA VERTIKAL

logounsri14092008_3793.jpg
Disusun oleh: Kelompok 7

Astie Ratnasari
06071281320007
Anisa Dwi Arfiani
06071281320012
Aryani
060711813200
Afsari
060711813200
Dwi Anggerweni Putri
060711813200
Nita Triana
060711813200
Tiara Wulandari
06071281320020


Dosen Pengampuh:
Dra. Harlina,M.Sc.

PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Kebudayaan tidak terpiashkan dari masyarakat sehingga manusia sebagai bagian masyarakat (makhluk sosial) tidak dapat terlepas dari konteks sosial budaya, yaitu nilai-nilai budaya dimana dia berada. Karakteristik manusia sedikit banyak dibentuk dari budaya masyarakatnya.
Kebudayaan yang sudah melekat dalam masyarakat dan sudah turun temurun sejak dulu, akan semakin terkonsep dalam kehidupan masyarakat sehingga menjadi sebuah kepercayaan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan sebuah keyakinan yang sulit untuk dihilangkan. Kepercayaan-kepercayaan yang masih berkembang dalam kehidupan suatu masyarakat, biasanya dipertahankan melalui budaya-budaya lokal yang dimilikinya. Dimana budaya lokal tersebut pada akhirnya menjadi suatu kearifan yang selalu dipegang teguh oleh masyarakatnya.
Menurut Koentjaraningrat (https://wirasaputra.wordpress.com/) nilai budaya terdiri dari konsepsi – konsepsi  yang  hidup  dalam  alam  fikiran  sebaagian  besar  warga  masyarakat mengenai hal – hal yang mereka anggap amat mulia.
Nilai-nilai budaya yang masih ada biasanya masih dipertahankan oleh masyarakat yang masih memiliki tingkat kepercayaan yang kuat. Kepercayaan yang masih menjadi tradisi dalam masyarakat juga disebabkan karena kebudayaan yang ada biasanya bersifat universal sehingga kebudayaan tersebut telah melekat pada masyarakat dan sudah menjadi hal yang pokok dalam kehidupannya.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana orientasi nilai-nilai budaya yang meliputi konsepsi waktu, hidup bergantung pada nasib, sikap kekeluargaan dan gotong royong serta nilai budaya vertikal?



1.3  Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat memahami orientasi nilai-nilai budaya yang meliputi konsepsi waktu, hidup bergantung pada nasib, sikap kekeluargaan dan gotong royong serta nilai budaya vertikal dalam kehidupan masyarakat.

























BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Nilai-Nilai Budaya: Konsepsi Waktu, Hidup Bergantung pada Nasib, Sikap Kekeluargaan dan Gotong Royong, Nilai Budaya Vertikal
Konseling lintas budaya dijadikan salah satu strategi yang didasari atas pertimbangan,  bahwa  dalam  bersosialisasi  akan  selalu  terjadi jalinan hubungan yang   manusiawi (human  relationship) bersifat  interpersonal yang membedakan manusia dengan hewan, walaupun adegan (setting) yang berlangsung  tersebut sifatnya berbentuk  kelompok.  Hubungan  seperti  itu  sejalan  dengan  prinsip dasar  konseling  yang berupaya untuk membantu  (helping)  individu  melalui  hubungan  interpersonal (antar-pribadi)  antara  konselor  (helper)  dengan  klien untuk mencapai keberartian hidup, kemadiran, dan tanggung jawab.
Di samping itu, dalam hubungan manusiawi yang bersifat interpersonal akan terbentuk komunikasi  yang  akan melibatkan  aspek  pengetahuan, sikap, nilai,  maupun  keterampilan dari masing-masing peserta komunikasi yang  beragam sehingga hal tersebut  rentan terhadap kesalah-pahaman budaya.
Konseling  lintas budaya adalah pelbagai hubungan konseling yang melibatkan para peserta yang  berbeda  etnik  atau  kelompok-kelompok  minoritas;  atau  hubungan konseling yang melibatkan konselor dan klien yang secara rasial dan etnik sama,  tetapi  memiliki  perbedaan  budaya  yang  dikarenakan  variabel-variabel  lain  seperti  seks,  orientasi seksual, faktor sosio-ekonomi, dan usia(Atkinson, Morten, dan Sue, 1989:37).
Sehingga lintas budaya adalah mempelajari berbagai perbedaan yang ada didalam suatu budaya dengan budaya lain, yang mana perbedaan tersebut bisa berupa seks, orientas seks, sosial-ekonomi, usia dan lan sebagainya.
Konseling  lintas  budaya  melibatkan  konselor  dan  klien  yang  berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat  rawan  oleh  terjadinya  bias-bias  budaya  pada  pihak  konselor  yang mengakibatkan  konseling  tidak  berjalan  efektif.  Agar  berjalan  efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri  dari  bias-bias  budaya,  mengerti  dan  dapat  mengapresiasi  diversitas budaya,  dan  memiliki  keterampilan-keterampilan  yang responsif  secara kultural.  Dengan  demikian,  maka  konseling  dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien (Dedi Supriadi, 2001:6). Dalam PDF Sosialisasi Wajar (Wajib Belajar) Melalalui Konseling Lintas Budaya oleh MamatSupriatna www.blogspot.com
Untuk menciptakan proses konseling yang efektif, maka konselor tidak membawa budaya sendiri ketika melakukan proses konseling dan konselor harus memiliki sikap reltive-culture yang mana konselor juga memandang budaya orang lain (konseli) sebga sesuatu yang unik. Sehingga ketika terjadi proses konseling yang terjadi adalah pertemuan dua budaya yang berbeda namun saling menghargai setelah mengetahui letak perbedaanya, jadi semua terbuka (open) dengan berebagai budya.
Sebelum konselor melakukan konseling lintas budaya hendaknya memahami apa saja yang menjadi nilai-nilai atau patokan, keprcayaa, dan lain sebagainya yang ada dimsyarakat. Karena suatu masyarakat satu dengan yang lain memilki berbag perbedaan mengenai kepercayaanya. Berikit dijelaskan secara rinci.
2.1.1        Nilai Budya
Theodorson dalam Pelly (1994) dalam http://adianlangge.blogspot.com/ mengemukakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang abstrak, yang dijadikan pedoman serta prinsip – prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku. Keterikatan orang atau kelompok terhadap nilai menurut Theodorson relatif sangat kuat dan bahkan bersifat emosional. Oleh sebab itu, nilai dapat dilihat sebagai tujuan kehidupan manusia itu sendiri.
Nilai sangat erat kaitannya dengan budaya. Menurut Koentjaraningrat (https://wirasaputra.wordpress.com/) nilai budaya terdiri dari konsepsi – konsepsi  yang  hidup  dalam  alam  fikiran  sebagian  besar  warga  masyarakat mengenai hal – hal yang mereka anggap amat mulia.
Kemudian Sumaatmadja dalam Marpaung (https://wirasaputra.wordpress.com/) mengatakan bahwa pada perkembangan,  pengembangan,  penerapan  budaya  dalam  kehidupan,  berkembang pula nilai – nilai yang melekat di masyarakat yang mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan. Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya.
Selanjutnya, bertitik tolak dari pendapat diatas, maka dapat dikatakan bahwa setiap individu dalam melaksanakan aktifitas sosialnya selalu berdasarkan serta berpedoman kepada nilai – nilai atau system nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat itu sendiri. Artinya nilai – nilai itu sangat banyak mempengaruhi tindakan dan perilaku manusia, baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut. Secara universal, nilai itu merupakan pendorong bagi seseorang dalam mencapai tujuan tertentu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah suatu bentuk konsepsi umum yang dijadikan pedoman dan petunjuk di dalam bertingkah laku baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut yang mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan dalam mencapai tujuan tertentu.
Ada tiga hal yang terkait dengan nilai-nilai budaya ini yaitu :
1.      Simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kelihatan kasat mata (jelas).
2.      Sikap, tindak laku, gerak gerik yang muncul akibat slogan, moto tersebut.
3.      Kepercayaan yang tertanam (believe system) yang mengakar dan menjadi kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku (tidak terlihat).
Jadi nilai merupakan suatu ciri, yaitu sebagai berikut:
1.       Nilai-nilai membentuk dasar prilaku seseorang.
2.       Nilai-nilai nyata dari seseorang diperlihatkan melalui pola perilaku yang konsisten.
3.       Nilai-nilai menjadi kontrol internal bagi perilaku seseorang.
4.       Nilai-nilai merupakan komponen intelektual dan emosional dari seseorang yang secara intelektual diyakinkan tentang suatu nilai serta memegang teguh dan mempertahankannya.
Suatu nilai apabila sudah membudaya didalam diri seseorang, maka nilai itu akan dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk di dalam bertingkahlaku. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari – hari, misalnya budaya tentang konsepsi waktu, hidup bergantung pada nasib, sikap kekeluargaan dan gotong royong dan nilai budaya vertikal.
2.1.2        Konsepsi Waktu terhadap Nilai Budaya
Edward T.hall mengemukakan pemikirannya dalam bukunya The dance of Life  (http://hendiafresiareza.blogspot.co.id/) tentang pentingnya waktu bagi komunikasi antarbudaya. Menurut Hall, suatu kendala dalam hubungan antarbudaya bahwa setiap budaya memiliki kerangka waktunya sendiri yang ditandai dengan pola-pola yang unik. Asumsi ini mengisyaratkan bahwa untuk berhasil di luar negeri, apakah kita sebagai mahasiswa, pembisnis, atau diplomat, kita perlu memahami bahasa waktu Negara setempat yang boleh jadi berbeda dengan bahasa waktu yang kita anut. Waktu sangatlah penting karena kita hidup dalam waktu, komunikasi pasti terjadi dalam waktu juga. Pentingnya waktu bagi komunikasi adalah bahwa seringkali waktu dengan konteks tertentu (pagi, siang, sore, malam, cepat, lambat, dan sebagainya) memberikan makna tertentu kepada pesan komunikasi dan sebagai konsekuensinya juga membawa efek tertentu.
Pada kenyataannya, konsep tentang waktu antara satu komunitas kebudayaan yang lainnya bisa berbeda-beda. Konsep masa lampau, masa depan, masa sekarang merupakan konsep dalam pemikiran Barat yang berhubungan langsung dengan ruang dan tempat. Waktu dan tempat mengikat sebuah komunitas kebudayaan, disadari atau tidak, setiap orang di Barat berperilaku, berpikir dengan pengaruh kuat dari masa lalunya, masa sekarang, dan bahkan masa yang akan datang. Perbedaan konsep tentang waktu membuat suatu komunitas masyarakat akan mempersepsi waktu dengan cara mereka sendiri-sendiri yang unik.
Orang-orang yang berorientasi hanya kepada masa kini. Apa yang dilakukannya hanya untuk hari ini dan esok. Sedangkan orang-orang yang berorientasi masa lalu akan menjadikan masa lalu sebuah evolusi diri mengenai apa yang sepatutnya dilakukan dan yang tidak dilakukan. Lain lagi orang-orang yang berorientasi masa depan. Manusia yang futuristik pasti lebih maju dibandingkan dengan lainnya, pikirannya terbentang jauh kedepan dan mempunyai pemikiran yang lebih matang mengenai langkah-langkah yang harus di lakukannnya. (http://dermawananjas.blogspot.co.id/)
Secara garis besar Edward T.Hall, seorang antropologi dan pakar komunikasi antarbudaya menjelaskan adanya delapan konsep waktu, yaitu :
a.      Waktu Biologis (Biological Time )
Merupakan waktu alami yang dalam dunia modern ditunjukkan oleh weker, yang secara tradisional identik dengan irama alam (usia alam semesta: peredaran bintang, matahari, dan planet; pergantian musim; pasangnya air laut; kokok ayam; usia manusia). Waktu biologis adalah waktu yang sejalan dengan siklus kehidupan dan irama tubuh kita. Ada saat lapar, dan ada saat mengantuk. Fenomena jet lag (kelelahan fisik dan psikis akibat penerbangan) yang anda rasakan adalah sebagai gejala terjadinya konflik system waktu antara Waktu biologis anda yang didasarkan atas siklus 24 jam dari planet kita (waktu yang ditunjukkan weker di Negara asal) dengan waktu setempat yang ditunjukkan weker.
b.      Waktu Pribadi (Personal Time)
Waktu Pribadi mengisyaratkan pengalaman setiap orang berlainan tentang waktu, bergantung pada situasi, konteks, aktivitas yang dilakukan, dan keadaan fisiologis dan emosi orang tersebut. Orang yang sedang menghadapi ujian tertulis yang sulit, merasakan betapa waktu berjalan terlalu cepat. Lazimnya orang yang berada dalam suasana menyenangkan cenderung merasakan waktu berlalu cepat, sedangkan orang yang sedang berada dalam kesusahan cenderung merasakan waku bergerak sangat lambat. Maka waktu dalam hal ini lebih bersifat subjektif daripada Waktu Biologis.
c.    Waktu Fisik (Physical Time)
Ini adalah waktu alami yang diramalkan dan diukur untuk tujuan-tujuan pragmatis dan ilmiah, seperti waktu yang diramalkan kapan akan tiba musim hujan atau musim kemarau (sehingga persiapan dapat dilakukan untuk menyambut musim tersebut), kapan terjadinya gerhana matahari atau gerhana bulan, kapan awal Ramadhan dan kapan kaum Muslim merayakan Hari Raya Lebaran dan sebagainya. Waktu fisik, menurut Isaac Newton, waktu bersifat mutlak, tetap dan tidak berubah, yang berarti bahwa waktu dapat digunakan sebagai standar untuk mengukur peristiwa (meskipun konsepnya berbeda dengan konsep waktu Einstein).
d.      Waktu Metafisik (Metaphysical Time)
Ini sejenis Waktu Pribadi tetapi lebih subjektif lagi, dan sulit dijelaskan secara biasa. Baik Waktu Pribadi ataupun Waktu Fisik tidak dapat menerangkan Waktu Metafisik ini. Contoh Waktu Metafisik adalah saat orang-orang tertentu menurut pengakuan mereka bertemu dengan malaikan atau makhluk halus lainnya dalam suatu lingkungan berbeda, atau saat orang (berdasarkan klaimnya) mengalami “mati” dan kemudian hidup kembali. Pengalaman ini ditandai dengan hampir tidak adanya kesadaran akan lingkungan fisik yang mengelilingi orang bersangkutan.
e.       Waktu Mikro (Micro Time)
Waktu Mikro dipengaruhi atau terikat oleh budaya primer. Aturan-aturannya hampir seluruhnya di luar kesadaran. Waktu monokronik dan waktu polikronik, merupakan dua pola utama Waktu Mikro ini. Meskipun banyak budaya dapat didominasi oleh pola waktu yang sama (waktu monokronik dan polikronik), setiap budaya sebenarnya memiliki pola yang sedikit banyak berbeda.
f.     Waktu Sinkron (Sync Time)
Ketika orang berinteraksi, mereka mensinkrinisasikan gerakan mereka dengan cara yang luar biasa. Orang yang tidak sinkron dengan kelompoknya dianggap mengganggu kelompok tersebut. Orang, kelompok, budaya, atau kota berlainan bergerak sesuai dengan iramanya masing-masing. Beradasarkan Waktu Sinkron mereka masing-masing, orang New York berjalan lebih cepat daripada penduduk kota kecil Colorado Springs, sebagaimana orang Jakarta berjalan lebih cepat dibandingkan penduduk Pegunungan Tengger.
g.    Waktu Sakral (Sacred Time)
Ini adalah saat yang bersifat imajiner. Anda membayangkan bahwa saat tertentu begitu suci dan begitu sesuai untuk melakukan sesuatu. Tingkat kesakralannya tentu saja berbeda-beda. Waktu sakral bagi umat Islam misalnya dini hari ketika mereka sholat tahajjud, berdzikir, dan mengajukan doa dan memohon ampunan kepada-Nya. Umat Kristen memiliki waktu sakral seperti Malam dan Hari Natal, Hari Nyepi buat orang Hindu Bali dan sebagainya.
h.    Waktu Profan (Profan Time)
 Waktu Profan berkembang dari Waktu Fisik, hanya saja waktu Profan begitu mendominasi kehidupan kita sehari-hari. Ini adalah waktu yang eksplisit, dibicarakan, dan dirumuskan. Waktu Profan ditandai dengan menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, decade, abad dan millennium. Sistem Waktu Profan dan Waktu Sakral saling melengkapi. Oleh karena Waktu Profan dan Waktu Sakral begitu lekatnya satu sama lain, banyak orang tidak bersedia mengubah atau menunda Waktu Sakral mereka. Kaum Kristiani  tidak akan bersedia memajukan Hari Natal berdasarkan alasan bahwa Hari Natal terlalu dekat dengan tahun baru.
i.        Waktu Meta (Meta Time)
Waktu Meta adalah definisi, konsep, model, atau teori tentang waktu dan sifat-sifatnya. Waktu Meta bukan waktu sebenarnya, melainkan waktu yang diabstraksikan dari berbagai peristiwa waktu. Definisi dan konsep berlainan atau bahkan bertentangan tentang waktu disebabkan oleh beragamnya perspektif yang digunakan, termasuk perspektif yang normative. Dalam pandangan Al-Ghazali, waktu bersifat relative. Waktu adalah kerangka independent yang mewadahi perubahan alih-alih merupakan ukuran perubahan.
Jadi, waktu, sebagai sebuah unsur penting dalam komunikasi menjadi fokus pembahasan komunikasi antarbudaya, karena konsep waktu akan memengaruhi keberhasilan tindak komunikasi antarbudaya.

2.1.3         Hidup Bergantung Nasib
Orang yang terlalu bergantung pada nasib artinya menyerahkan diri pada nasibnya sendiri, kehilangan semangat untuk berikhtiar, menjalani kehidupan tanpa repot-repot membuat rencana, kendati banyak alternatif tidak memandang perlu mengambil pilihan, menunda keputusan sampai nasib menghampirinya, kehilangan harapan yang optimis; bahkan mungkin melupakan firman Allah atas pentingnya ikhtiar untuk mengubah nasib.

2.1.4         Sikap Kekeluargaan
Lewis Henry Morgan pada bukunya Systems of Consanguinity and Affinity of the Human Family (http://srikandimenggugat.blogspot.co.id/) membatasi kekeluargaan atas seks (saudara perempuan dan laki – laki), generasi (kakek, ayah, dan anak), serta pernikahan.
Kekeluargaan berasal dari kata keluarga yang mendapat awalan ke- dan akhiran -an. Keluarga sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, kula artinya saya dan warga yang artinya orang disekitar kita.
Keluarga juga memiliki makna orang yang masih sealiran darah dengan kita.Keluarga adalah satu unit sosial yang terdiri dari dua atau lebih orang yang dihubungkan oleh ikatan darah, ikatan perkawinan, atau adopsi dan hidup/tinggal serumah atau mungkin tidak serumah.
Namun, dewasa kini teori ini tidak relevan lagi dengan keadaan masyarakat modern saat ini, kekeluargaan tidak hanya ditentukan oleh hubungan darah yang bersifat biologis, kekuatan ekonomi seseorang memainkan peranan yang besar, begitupula emosi, kesehatan mental seseorang, serta  kekompakan sebuah kelompok.
Sikap kekeluargaan memiliki makna sebagai perilaku yang menunjukkan sebuah manifestasi yang cenderung didasari rasa familiar yang tinggi dengan wujud responsible yang mempertimbangkan hubungan keakraban sebagai kedekatan keluarga kepada orang lain, sehingga dengan manifestasi tingkah lakunya ini menimbulkan keakraban rasa dekat seperti layaknya keluarga yang memiliki hubungan darah.
Budaya kekeluargaan memang terasa asing saat ini di Barat, karena tingginya tingkat induvidualisme yang juga turut menyebabkan pertanyaan dikalangan antropolog, apakah benar sesuatu yang bernama kekeluargaan itu ada. Namun tidak begitu dengan negara kita, Indonesia. Kekeluargaan telah menjadi budaya di negeri ini, dan kita sebagai masyarakat di dalamnya menyadari penuh keberadaannya. Budaya kekeluargaan menjadi sesuatu yang sangat substansial bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Semangat kekeluargaan telah mendarah daging di dalam jiwa bangsa Indonesia. Hal ini pun terjadi di dalam fondasi diplomasi Indonesia, di mana Indonesia sebagai negara sangat menjunjung tinggi kekeluargaan di antara negara – negara di dunia, dengan mengedepankan perdamaian, dibandingkan diplomasi yang agresif. Melalui pelajaran Kewarganegaraan kita pun diajarkan betapa pentingnya mempertahankan budaya kekeluargaan (yang katanya sangat Indonesia), lewat sikap tenggang rasa, peduli, kerja sama dan saling membantu satu sama lain. Secara sadar maupun tak sadar bangsa ini telah membawa kekeluargaan ke dalam berbagai lini kehidupannya.
Masyarakat harus tetap melestarikan budaya kekeluargaan, karena budaya ini adalah salah satu budaya yang mengakar kuat di dalam masyarakat kita. Namun masyarakat harus tetap bijaksana dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai dalam hal-hal yang bersifat profesional, masyarakat membawa nama kekeluargaan, sehingga muncul keputusan-keputusan yang bersifat bias, tanpa mempertimbangkan rasionalitas.
2.1.5        Gotong Royong
Gotong-royong sebagai bentuk solidaritas sosial, terbentuk karena adanya bantuan dari pihak lain, untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompok, sehingga di dalamnya terdapat sikap loyal dari setiap warga sebagai satu kesatuan.
Kerjasama yang dilakukan secara bersama-sama disebut sebagai gotong-royong, akhirnya menjadi strategi dalam pola hidup bersama yang saling meringankan beban masing-masing pekerjaan. Adanya kerjasama semacam ini merupakan suatu bukti adanya keselarasan hidup antar sesama bagi komunitas, terutama yang masih menghormati dan menjalankan nilai-nilai kehidupan, yang biasanya dilakukan oleh komunitas pedesaan atau komunitas tradisional. Tetapi tidak menuntup kemungkinan bahwa komunitas masyarakat yang berada di perkotaan juga dalam beberapa hal tertentu memerlukan semangat gotong-royong.
Kehidupan warga suatu komunitas yang terintegrasi dapat dilihat dari adanya solidaritas di antara mereka melalui tolong-menolong tanpa keharusan untuk membalasnya, seperti adanya musibah atau membantu warga lain yang dalam kesusahan.
Gotong-royong dapat dikatakan sebagai ciri dari bangsa Indonesia terutama mereka yang tinggal di pedesaan yang berlaku secara turun temurun, sehingga membentuk perilaku sosial yang nyata kemudian membentuk tata nilai kehidupan sosial. Adanya nilai tersebut menyebabkan gotong-royong selalu terbina dalam kehidupan komunitas sebagai suatu warisan budaya yang patut dilestarikan.

2.1.6        Nilai Budaya Vertikal
Secara nyata orientasi vertikal itu adalah ketaatan pada orang tua, orang senior, guru, pemimpin, orang berpangkat tinggi, komandan, dan sebagainya, sehingga seseorang dengan orientasi vertikal tidak akan bertindak tanpa suatu instruksi atau restu dari atas. Orientasi budaya vertikal dapat juga berarti rasa ketergantungan kepada tokoh-tokoh yang mempunyai otoriter untuk memerintah dan memimpin.
Nilai yang terlampau berorientasi vertikal ke arah atasan akan mematikan jiwa yang ingin berdiri sendiri dan berusaha sendiri, dan akan menyebabkan timbulnya rasa disiplin pribadi yang murni, karena orang hanya akan taat kalau ada pengawasan dari atas, tetapi akan merasa tak terikat lagi kalau pengawasan tadi menjadi kendor. Akhirnya nilai yang terlampau berorientasi ke arah atas akan juga mematikan rasa tanggung jawab ke atas, atau kalau tidak bisa, untuk selalu membagi rata tanggung jawab itu dengan orang lain sehingga rasa tanggung jawab sendiri itu menjadi sekecil mungkin. (http://abahanomkurnaedi.blogspot.co.id/)
Namun demikian nilai budaya yang berorientasi ke atas atau vertikal, sampai batas-batas tertentu dapat mempunyai makna positif, karena dapat dipergunakan sebagai taktik untuk mengajak rakyat berpartisipasi dalam pembangunan. Dalam proses kepemimpinan, orientasi vertikal ini dapat menjadi alat yang ampuh bagi seorang pemimpin terutama dalam hal memberi teladan kepada para bawahanya.
Sistem nilai budaya yang diyakini dan dianut oleh sebagian besar warga masyarakatnya, sangat mempengaruhi pola dan perilaku kepemimpinan dari para administrator atau pemimpin. Begitu juga halnya dengan orang yang dipimpin, nilai budaya masyarakanya senantiasa mewarnai pola perilakunya dalam interaksi dengan atasannya.




















BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Didalam konseling lintas budaya yang harus diperhatikan oleh konselor adalah karakteristik konseli, lingkungan yang tinggali, serta budaya yang ia percayai. Karena setiap ndividu itu berbeda dan perbedaan individu slah satunya terletak kepada pembentukan dari budaya sekitar sehingga terbentukalah barbagai macam karakterstik individu, selain itu faktor lingkungan serta pola asuh orang tua juga yang dapat membentuk karakter individu.
Maka sebagai konselor yang profesional, sebelum melakukan konseling lintas budaya lebih lanjut hendaknya memahami terlebih dahulu budaya ndividu baik nilai-nilai budayanya sperti kepercayaan baik terhadap agama atapun yang lain. Dan juga memahami mengenai waktu, karena waktu terus berkembang maka konselor dituntut untuk update mengenai perkembangan budaya dan waktu.
Selanjutnya konselor paham bagaman sikap kekeluargaan dan gotong royong yang dimliki oleh individu, sikap tersebut bukan datang atau diperoleh dari gen malainkan proses dar belajar denagn lingkunhan dan dalm lingkungan tersebut yang terdapat budaya, maka individu yang satu dengan individu yang lain berebeda mengenai sikap kekeluargaan dan gotong royong. Meski setiap individu memliliki akan sikap itu, namun insensitasnya berbeda tergantung bagaman ia belajar dari lingkungan dna budaya sekitar.
Dan sistem nilai budaya yang diyakini dan dianut oleh sebagian besar warga masyarakatnya, sangat mempengaruhi pola dan perilaku kepemimpinan dari para administrator atau pemimpin. Begitu juga halnya dengan orang yang dipimpin, nilai budaya masyarakanya senantiasa mewarnai pola perilakunya dalam interaksi dengan atasannya. Karena dengan budaya dan warna warni budaya masyarakat mampu bertahan hidup dengan saling mengashi dan memahami perbedaan sehingga terbentuklah persatuan.



DAFTAR PUSTAKA


Anjas, Dermawan. 2013. Ilmu Budaya Dasar dalam Pandangan Hidup. http://dermawananjas.blogspot.co.id/ diunduh pada tanggal 10 Oktober 2015.

Anom, Abah Kurnaedi. 2012. Kepemimpinan dalam Konteks Sistem Nilai. http://abahanomkurnaedi.blogspot.co.id/ diunduh pada tanggal 10 Oktober 2015.

Fresiareza, Hendia. 2011. Konsep Waktu. http://hendiafresiareza.blogspot.co.id/ diunduh pada tanggal 10 Oktober 2015.

Kamil, Gurniwan. 2014. Gotong Royong. sosiologi.upi.edu. diunduh pada tanggal 10 Oktober 2015.

Langge, Adian. 2013. Pengertian Konsep Nilai dan Sistem. http://adianlangge.blogspot.Co.id/ diunduh pada tanggal 10 Oktober 2015.

Supriatna, Mamat. 2014. Sosialisasi Wajar (Wajib Belajar) Melalalui Konseling Lintas Budaya www.blogspot.com diunduh pada tanggal 10 Oktober 2015.

Saputra, Wira. 2011. Nilai Budaya, Sistem Nilai, dan Orientasi Nilai Budaya. https://wirasaputra.wordpress.com/ diunduh pada tanggal 10 Oktober 2015.


































Tidak ada komentar:

Posting Komentar